tag:blogger.com,1999:blog-3709285292477866292024-03-14T11:21:55.367+08:00LINGKAjust talk about nothingVictor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-50789546358073346352019-03-03T22:41:00.000+08:002019-03-22T20:01:41.639+08:00INI HANYA SEBUAH KATA<div style="text-align: justify;">
Beberapa waktu yang lalu sempat riuh terdengar kebijakan Bupati Toraja Utara untuk mengeluarkan stempel halal kepada warung-warung makan yang ada di kabupaten pemekaran tersebut. Menuai protes pada awalnya akan tetapi sejauh pemantauan di dunia internet kebijakan ini tetap dilaksanakan dengan memberi stempel halal di plang warung-warung yang memang menyajikan menu yang bisa dikonsumsi siapapun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dan, di tahun 2019 ini, orang nomor 2 di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan tentang wisata halal yang rencananya akan dijadikan brand image untuk pariwisata tana toraja. Hal ini pun menuai protes dari berbagai kalangan di toraja, mulai dari kalangan muda, dari berbagai profesi pekerjaan, dari aparat negara sampai pada rohaniawan serta budayawan.
Kata halal kemudian menjadi polemik ketika diproduksi dan dilempar ke khalayak ramai. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekonyong-konyong orang pastinya akan berpikir;
- Ketika bupati toraja menyebutkan warung “halal” maka secara langsung orang akan menilai bahwa si bupati (pada saat menyebutkan warung “halal”), dia (bupati) secara otomatis mengakui adanya keberadaan warung “haram”. Sama halnya dengan,
- Ketika wakil gubernur mengatakan wisata “halal” secara langsung, wakil gubernur ini mengakui keberadaan wisata “haram”.
Ini kesimpulan pemikiran yang marak sekarang ini terhadap pernyataan dari Wakil Gubernur. Singkatnya, beberapa kepala ketika mendengar kata “halal” sontak saja langsung mengklasifikasi dunia dalam dua bagian, bahwa jika ada “halal” pastinya ada juga yang namanya “haram”. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada konteks berpikir diatas, oleh Nietszche dikatakan bahwa kata “halal” tersebut tidak lagi hanya merupakan sebuah kata namun telah dibakukan, dipercaya mewakili entitas tertentu, sebuah kebenaran tunggal. Lebih jauh Nietzsche mengatakan bahwa sebuah kata terkadang bagi sebagian orang mewakili sebuah metafisika atau cara berpikir tertentu yang kemudian mendukung kata tersebut. Kenapa ini disebut halal misalnya, karena telah mempunyai ciri-ciri tertentu dan jika diluar ciri-ciri tertentu tersebut maka kemudian itu salah (moralitas; baik-buruk,benar-salah). Persoalan kemudian ketika ketika keyakinan akan metafisika tersebut atau cara berpikir tersebut kemudian membuat kita menjustifikasi hal-hal yang sepatutnya tidak bisa dijustifikasi, (contohnya; menuduh bahwa dengan mem-brand imagekan wisata toraja dengan wisata halal berarti wakil gubernur telah menganggap bahwa selama ini wisata toraja adalah wisata haram). Namun, justifikasi yang dilakukan tersebut hanya yang untuk membenarkan diri sendiri (psikologi).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Halal adalah sebuah realitas yang hadir di tengah kita, yang tidak berani menghadapinya tentunya kelihatan dari cara menyikapinya; reaksi berlebihan, mencak-mencak, irasional.
Bagi Nietzsche kata hanya sebuah representasi suara hasil dari rangsangan syaraf dalam suara, tanpa ada makna metafisis ap-apa. Halal hanya sebuah kata tanpa dibakukan, tanpa mewakili entitas tertentu, bukan kebenaran tunggal, yang tentunya tanpa moralitas. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kembali wisata halal yang menjadi kontroversi, mungkin saja kata halal diatas selaras dengan definsi kata oleh Nietzsche. Mengatakan halal tidak otomatis mewakili entitas tertentu, tidak mewakili agama apapun, dia bukan konsep agama tertentu, dia tanpa moralitas.
Ini hanya sebuah kebijakan bagaimana mengatur pariwisata agar bisa diakses oleh semua orang, bagaimana agar pariwisata terbuka bagi siapa saja, ini hanya sebuah buah promosi bisnis belaka, pencitraan.
Jadi santai saja, ucapan mereka berdua diatas mungkin hanya sama seperti apa yang disampaikan Nietszche diatas, bahwa kata wisata halal tidak punya akar metafisis, dia hanya rangsangan subjektifitas, tidak akan sampai melululantahkan tatanan adat dan nilai di toraja. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Singkat kata jika memang toraja ingin mencapai kesuksesan dalam dunia pariwasata, menjadikan pariwisata sebagi objek jualan guna peningkatan pendapat daerah demi kesejahteraan masyarakat. Maka mau tidak mau, setelah semua pembangunan yang dilakukan atas nama pariwisata, setelah sawah dan kebun diratakan untuk hotel, resort dan apapun namanya, anggaran ratusan milyar untuk pembangunan fasilitas wisata. Maka konsep wisata halal bukanlah hal yang harus ditakuti. Tetap berkacalah sama seperti Nietzsche bahwa ini hanya sebuah kata.
</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-22547300579303852362010-11-10T17:57:00.000+08:002019-03-06T22:03:23.097+08:0022 jam Obama<div style="text-align: justify;">
<span style="font-style: italic;"></span> …Ada beberapa hal menarik menyaksikan semua gerak Obama dari layar tv dalam ku dalam kunjungan 22 jamnya di Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika acara jamuan santap malam, seusai protokol acara membacakan basa-basinya, presiden Barack Obama kemudian berdiri meninggalkan kursinya dan berbisik ke SBY kemudian berjalan sendiri menyalami sebagian dari tamu undangan acara tersebut. Gelagat Obama sontak membuat SBY terlihat <span style="font-style: italic;">celingak celinguk</span> melihat tingkah dari laki-laki keturunan Afro-America itu. “Ini khan tak ada dalam draft protokoler acara”, mungkin begitu pikir SBY.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu hal jelas yang diperlihatkan oleh Obama bahwa seorang presiden yang punya banyak hak, tidak harus kaku dan tunduk patuh mengikuti semua prosedur protokoler. Seorang presiden bisa dengan <span style="font-style: italic;">entengya melenggang</span> sesuai konteks kejadian dimana presiden hadir. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menyambung tulisan Yusran Darmawan (timurangin.blogspot.com) tentang bagaimana lebih tanggapnya para pembaca KOMPAS ketimbang negara dalam menyalurkan bantuan ke para pengungsi gunung Merapi. Menjadi bukti bagaimana <span style="font-style: italic;">jelimetnya</span> urusan prosedur di negara ini meski untuk persoalan yang tingkatanya <span style="font-style: italic;">urgent</span>. Ketika Merapi meletus, negara dalam kutip presiden tidak harus mengikuti semua <span style="font-style: italic;">rule</span> hanya untuk penyaluran bantuan. Karena bagaimanapun juga aturan protokoler dibuat agar semuanya lancar bukan malah melamban.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SBY sepertinya mesti belajar banyak dari Obama tentang politik populer. Tanpa album lagu, tanpa nyanyi-nyanyi, Obama paham betul cara menggapai popularitas politik dengan senyum, lambaian tangan, bicara yang lugas dan tingkah laku yang tak kaku.</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-48264191973405736172010-04-15T09:40:00.000+08:002019-03-06T22:02:53.628+08:00Dari Gelanggang ke gelanggang<div style="text-align: justify;">
Setelah lama tak dinantikan, akhirnya, untuk kesekian kali gelar “tinju bebas” pun berlangsung. Dengan promotor yang sama, pertandingan mengambil tempat di gelanggang Tanjung Priok, Jakarta . Partai ini menghadirkan aparat negara di sebelah kanan ring sebagai juara bertahan versus warga yang berada di sebelah kiri. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang namanya pertandingan terkadang memang susah diramal, siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Para analis sudah memprediksi namun, kenyataan di lapangan biasanya bertolak belakang dengan hasil itung-itungan di atas kertas. Dan kali ini, setelah beberapa kali berhasil mendominasi menyabet titel juara, satpol PP dan polisi pun tumbang oleh perlawanan sengit warga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hasil statistik yang dilansir oleh sebuah tv swasta menunjukkan 300 korban luka; 10 polisi, 66 satpol PP dan 54 warga (kabar terakhir 1 orang satpol PP tewas). Dari hasil ini, warga secara otomatis keluar sebagai pemenang denga menang KO mempertahankan makam dan memukul mundur ratusan satpol PP dan polisi dan menang TKO jumlah korban yang lebih sedikit. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sengketa selalu menjadi sebab musabab terjadinya pertarungan ini, entah itu rumah, lahan dan sebagainya. Kenapa persitiwa seperti ini begitu sering terjadi? Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akan tetapi, diluar pertanyaan itu, “keberhasilan” warga mempertahankan tanah makam Mbah Priuk sangat perlu diacungi dua jempol. Betapa tidak, dengan bermodalkan peralatan seadanya mereka berhasil memukul mundur aparat yang mempunyai persenjataan lebih lengkap, modern dengan standar keamanan tinggi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin spirit, mungkin semangat, mungkin kepercayaan serta metafisis lainnya yang menjadikan warga begitu kuat mempertahankan lahan makam. Dan, tanpa ingin menafikan dan mengkerdilkan itu. Bisa jadi, dalam setiap ayunan tongkat/bambu dan lemparan batu warga adalah bentuk pelampiasan dari rasa frustrasi mereka terhadap kondisi negara ini. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Siapa yang tahu, seandainya, diantara para warga tersebut; Ada seorang bapak yang kini harus bingung mencari makan untuk anak-anaknya, sehabis di-PHK. Ada seorang yatim yang bersama ibunya tinggal di kolong jembatan karena rumah mereka telah digusur. Ada seorang alumni perguruan tinggi yang sudah lima tahun ini tak kunjung memperoleh pekerjaan. Ada seorang yang baru keluar dari penjara karena tertangkap mencuri untuk membiayai sekolah adiknya. Ada seorang yang menderita cacat ringan akibat pukulan aparat pada kerusuhan sebelumnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada akhirnya, yang korban adalah yang kecil. Bagaimanapun, seorang Satpol PP dan polisi hanya menjalankan perintah atasannya (menjalankan tugasnya) dan untuk menafkahi keluarganya di rumah. Sama halnya dengan warga yang menjadi lawan tandingnya.</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-9586073922922485452010-03-05T16:39:00.000+08:002019-03-06T22:04:34.236+08:00Tertawa Part 2<div style="text-align: justify;">
Siapa yang tak suka hiburan?atau, siapa yang suka program komedi Tv? konon, tertawa memang perlu menurut kesehatan. Dan tertawa sebaiknya yang ikhlas (dari dalam hati) agar berguna secara kejiwaan. Seorang teman pernah berhipotesa, tertawa yang baik ialah ketika tarikan kedua ujung bibir diukur dari tengah sama besarnya kiri dan kanan. Hal yang sama juga berlaku buat senyum, tambahnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin tak ada dari kita yang tidak mengenal komedi televisi, yang sampai hari ini hadir dengan berbagai kemasan dan jumlah kian banyak. Masih teringat jelas dalam kepala kita akan aksi dari group; warkop DKI, Bagito, Srimulat, dan lain-lain. Grup-grup ini timbul tenggelam, datang dan pergi, naik dan turun layaknya teori evolusi Darwin. Ada yang tersingkir karena usia, dan ada juga karena karakter lawakannya tidak laku. Komedi sendiri merupakan salah satu program “lahan basah” dalam industri pertelevisian. Jangan heran, jika hampir semua televise punya program lawakan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu hal yang menjadi kemiripan dari dunia lawak indonesia dulu sampai sekarang ialah masalah content lawakannya. Yang biasanya diisi adegan mengerjai, hina menghina, sampai yang nyrempet ke arah birahi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu program lawak yang kini lagi laku-lakunya ialah Opera Van Java. Dari yang awalnya tayangan perminggu sampai kini perhari, menunjukkan bahwa peminat acara ini tinggi. Sejarah adalah perulangan-perulangan kata …? (yang tahu, tolong isi). Dan, jadilah OVJ yang terkadang menjual makian, hinaan atau kekerasan. Faktanya, hampir semua orang pun tertawa jika menyaksikan tayangan tersebut. Beberapa orang malah, mengingat pasti jam penayangannya. Seorang teman pernah menegur teman lainnya lantaran di saat memindahkan channel dia melewati Opera Van Java. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Mengapa acara lawak yang model seperti ini biasanya mendapat tawa yang cukup keras sehingga dikatakan menghibur?<br />
<br />
Dalam analisa sigmund Freud yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal ialah karena kita <br />
memetik kepuasaan yang sifatnya instingtif dari aksi kekerasan, makian, hinaan yang dipertonkannya. Menurutnya, id yang sifatnya selalu destuktif akan selalu direpresif oleh yang namanya superego. Maka, dengan adanya lawakan yang terjadi kemudian adalah perkara menyelinap mengelabui superego. Atau, dengan kata lain bahwa ini adalah soal menghindari sensor superego. <br />
<br />
Lagi-lagi, menurut Freud tiap manusia punya naluri untuk melakukan tindakan kekerasan, mencaci maki atau menghina. Namun, karena ada seperangkat sistem sosial diluar diri manusia maka hal seperti itu pun ditekan. Jadi, ketika hal itu dipertontonkan dan kita tertawa. Maka tawa tersebut adalah sublimasi dari sifat instingtif yang pada dasarnya destruktif.Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-60227341871245861232010-03-05T16:32:00.000+08:002019-03-06T22:14:23.174+08:00Tertawa part 1<div style="text-align: justify;">
Kita tak pernah dewasa, demikian penggalan lirik dari Efek Rumah Kaca yang sekaligus bisa dilihat sebagai sebuah konklusi dari band tersebut. Sebuah hasil refleksi atas maraknya video porno produksi anak bangsa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kira-kira 2 minggu lalu, dalam sebuah program TV yang “kerjanya” kurang lebih sama seperti mak comblang. Pada sebuah session dari acara tersebut, oleh Mc, satu pasangan diminta untuk berakting. Si perempuan pun merengek-rengek dan si laki-laki berlagak orang gagap atau cacat atau kombinasi dari keduanya. Spontan saja, acting kedua pasangan ini mendapat tepukan tangan dari penonton, terutama untuk acting si laki-laki. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beradegan cacat, baik itu mental dan fisik memang terkadang menjadi akting dagangan paling yahud di layar Tv Indonesia. Acting ini pun tak tanggung-tanggung muncul hampir dalam semua acara Tv baik itu lawakan, film bahkan sampai dalam film. Dan, biasanya si pameran cacat tersebut mendapat apresiasi yang besar. Tengok saja sinetron “Si Cecep” dimana Anjasmara pernah mendapat piala apa untuk aktingnya. Atau tengok saja Azis, yang kebanjiran mangung serta rela menambahkan nama belakangnya sesuai dengan aktingnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Televisi adalah industri dan yang namanya industri sudah takdirnya untuk meraup keuntungan. Naif jika tidak berpikir seperti itu, dan jadilah televisi yang memperjualbelikan apa saja demi rating, demi iklan dan demi uang. Mulai dari produk kemiskinan, produk air mata, sampai produk manusia cacat pun tak luput. Tak peduli, bagaimana perasaan si penyandang cacat ketika menyaksikan apa yang tidak pernah dimintanya menjadi bahan tertawaan. Dan lucunya, penonton pun ikut larut dalam “dagelan” Televisi. </div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hampir sama dengan dunia layar TV, dunia keseharian kita pun tak luput dari praktek konsumsi menertawai orang yang tidak beruntung tersebut. Menertawai seolah dengan fisik sempurna, kita lebih manusia. Menertawai dan lupa bahwa manusia tidak diukur dengan apa yang kita punya. Menertawai dan lupa bahwa ada yang lebih penting dari tampakan lahiriah, ada substansi diatas wilayah aksiden, ratio lebih penting ketimbang fisik. Dan, inilah manusia yang katanya modern ini. Sama dengan jawaban Muse, ketika ditanya mengenai maksud dari konsep video klip lagu Supermassive Black Hole. Kita menertawai dan menafikan fakta sejarah peradaban manusia dimana, ada zaman dimana orang dengan fisik yang tak sempurna pernah menjadi orang yang sangat berpengaruh bahkan punya sumbangsih yang besar. Lihat saja Adolf Hitler, atau Friedrich Wilhelm Nietzsche.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau tertawa adalah sebuah budaya, sementara bagi para alih-alih Cultural Studies dan pakar Postmodernisme berpandangan bahwa tak ada budaya tinggi dan budaya rendah. Mungkin, akan dewasalah kita jika, mengatakan bahwa menertawai segala kecacatan fisik seseorang adalah sebuah budaya rendah!</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-50429368320887809992010-01-02T18:07:00.000+08:002019-03-06T22:17:56.484+08:00Kado Natal<div style="text-align: justify;">
“Uh! kutendang kerikil itu dengan geram”. Bagaimana aku tidak marah, aku tidak diberikan kado dari ibu dan bapak saat natal nanti tapi, aku pasrah saja. </div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Waktu terus berputar, pada sore hari aku dan teman-teman pergi bermain bola. Disana kami asyik bermain sepak bola sampai akhirnya kami beristirahat . “Wah..., saat natal nanti kayaknya orangtuaku memberikan sepeda baru, kata Fartin”. “Kalau kamu Ayu?”, kata Fartin. Dengan tergesa -gesa, Ayu menjawab “kalau saya, kayaknya diberikan tas baru”. </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kalau, kamu Ike'?” tanya fartin lagi. “Kalau saya m..........., ayo jawab, seru Fartin! kayaknya m.........., sepatu baru, ya sepatu baru”, jawabku. “o........., sepatu baru kata Ayu dan Fartin dengan serempak. </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terpaksa berbohong karena tidak mau Fartin dan Ayu menertawaiku kalau tahu bahwa sebenarnya, aku tidak akan mendapat kado natal nantinya.</div>
<a href="http://1.bp.blogspot.com/_DHfFnVh20qo/S0AMiPYKmGI/AAAAAAAAAB4/CkjrbSxBh4Y/s1600-h/Santa%27s+Workshop.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5422347733737052258" src="https://1.bp.blogspot.com/_DHfFnVh20qo/S0AMiPYKmGI/AAAAAAAAAB4/CkjrbSxBh4Y/s200/Santa's+Workshop.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: left; height: 200px; margin: 0 10px 10px 0; width: 151px;" /></a> <br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Natal pun tiba saya, Fartin dan Ayu ingin ke gereja. Disana, ada santa claus dan pit hitam yang mengerikan. Akhirnya, namaku disebut oleh santa, EUNIKE KRISESI SOSANG. “Kesini... ,santa ingin memberikan hadiah, seru santa claus”. “Ini dari santa dan orang tua kamu”, santa pun memberikan aku hadiah. Aku membukanya dan isinya sepatu ternyata, aku senang sekali dan langsung memeluk santa dengan erat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah itu, aku kemudian berlari menuju bapak dan ibu. “Katanya aku tidak akan diberikan hadiah natal, tanyaku sama mereka. Bapak membohongi saya, tanyaku lagi”. “Ya ia nak,karena bapak ingin memberikan kejutan buat anak perempuan semata wayang bapak, timpal bapakku. </div>
<div style="text-align: justify;">
“Terima kasih ya papa, seruku. “Ia, jangan nangis anak bapak kan tidak cengeng.</div>
<br />
<br />
* Tulisan ini dibuat oleh Eunike Krisesi Sosang <br />
<a href="http://1.bp.blogspot.com/_DHfFnVh20qo/Sz8fobP2D7I/AAAAAAAAABo/C-ocE6No1Hs/s1600-%20h/Ike%27.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5422087255746809778" src="https://1.bp.blogspot.com/_DHfFnVh20qo/Sz8fobP2D7I/AAAAAAAAABo/C-ocE6No1Hs/s200/Ike'.JPG" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: left; height: 150px; margin: 0 10px 10px 0; width: 200px;" /></a><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
* Tulisan ini telah melalui proses pengeditanVictor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-25520118400044382732009-12-04T19:04:00.001+08:002019-03-06T22:19:48.256+08:00Kiamat<div style="text-align: justify;">
Jauh hari sebelum dirilis, saya sempat membaca beberapa artikel tentang film berjudul 2012. Suatu film yang juga mengangkat tema tentang kiamatnya dunia. Seakan coba memuaskan keingintahuan manusia tentang bagaimana prosesnya berakhirnya peradaban ini, tema tentang kiamat telah sering diangkat ke layar kaca. Mulai dari Armageddon, The Day After Tomorrow sampai yang lokal seperti Kimat Sudah Dekat. Namun, film yang satu ini berbeda karena kalau ndak salah baca, film ini dikait-kaitkan dengan ramalan suku maya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai detik ini pun, saya sendiri belum menonton film besutan sutradara Roland Emmerich tersebut. Akan tetapi, beberapa hari belakangan ini kabar seanter film yang dirilis 13 November lalu di Amerika itu, telah beredar dimana-mana menjadi salah topik dalam pembicaraan. Kabar terakhir dari seorang teman, beberapa ulama MUI telah mengharamkan film produksi Columbia Pictures ini. Saya tak bermaksud melawan fatwa MUI ini, tapi satu yang jelas apapun alasan beberapa ulama tersebut mengelurkan fatwa terhadap 2012, ini justru menambah kontroversi. Dan menambah kontrovesi, bisa saja kemudian menambah daya jual suatu produk. Para arsistektur pemasaran dan iklan tidak perlu lagi mengeluarkan budget besar untuk promosi karena meraka secara tidak langsung telah sangat terbantu dengan fatwa MUI tersebut. Jadi, jangan heran ketika film tersebut telah meraih sekitar 225 juta US$.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah karena pengaruh media atau MUI, di tengah masyarakat sendiri banyak terjadi pembicaran bahkan sudah sampai pada level penilaian akan tema yang diusung oleh 2012. Teman yang lain pernah bercerita, bahwa seorang bapak yang tinggal bertetangga dengannya, pernah mengumpat “tidak mungkin mi itu kiamat 2012!” Ya iyalah pak, terang saja bapak bilang gak mungkin mi, karena bapak merujuk ke agama yang bapa anut, ke kitab yang bapak percayai dan kemudian menilai ramalan suku maya tersebut. Gak mungkin ketemulah, atau gak fairlah kata orang dari dunia olahraga. Lagian, kalau misalnya 2012 memang nantinya kiamat, bagaimana pak?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara, dalam kepercayaan agama semawi punya pemaknaan yang mirip akan kiamat, lengkap dengan tanda-tanda akan datangnya kiamat, bagaimana kehidupan setelah kiamat atau siapa utusan Tuhan ketika kiamat telah datang. Dan kebanyakan agama semawi juga meng-amini bahwa semua ini adalah misteri sang pencipta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa hari yang lalu, ketika melintas ditengah orang yang lagi kong kow (nongkrong), salah seorang dari mereka kemudian nyeletuk “kenapa na susah sekali jaringannya te....sel ini? mw betulan kapang kiamat?” Yang lain kemudian balas menyahut dengan sedikit ketawa ketiwi “io, 2012”. Akhir-akhir ini, membicarakan kiamat memang akan selalu dikaitkan dengan film 2012. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam abad yang menurut, para alih-alih cultural studies adalah abadnya gaya hidup, manusia-manusia modern pun punya pemaknaan sendiri akan kehidupan. Ketika mereka kemudian berenang-renang ria dalam arus konsumsi dan segala simbol-simbol ke-modern-an hidup, kiamat pun diartikan berbeda. Jika, kemudian orang yang menandai kiamat karena jaringan yang rusak. Maka, bisa dimaklumi bahwasanya orang tersebut berada pada posisi dimana, bagi dia komunikasi lewat telpon seluler adalah segalanya dan segalanya adalah telpon seluler. Maka, jika jaringan kemudian bermasalah maka kiamatlah dunia ini bagi dia, tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan dari dunia ini, eksistensinya sebagai manusia pun hilang bersamaan dengan hilangnya jaringan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sama halnya dengan orang yang kecanduan game, kecanduan belanja, kecanduan sms, kecanduan seks, kecanduan fesbuk dan kecanduan-kecanduan lainnya, yang bagi kaum agawamawan adalah hal-hal yang sifatnya duniawi. Ketika kecanduan ini kemudian tak dapat dikontrol lagi, dan pada suatu waktu kecanduan ini tak dapat disalurkan maka kiamat lah dunia ini baginya. Setidaknya kiamat kecil bagi dirinya sendiri.</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-1448260216475053692009-11-01T13:16:00.000+08:002019-03-06T22:23:33.884+08:00Weee...dicuekin<div style="text-align: justify;">
“Teknologi itu ibarat pisau bermata dua” begitulah ungkapan basi tapi, masih sangat relevan untuk kondisi hari ini, bahkan untuk hari esok. Kalo gak salah, ungkapan ini ingin mengingatkan bahwa tekonolgi jika tidak dimanfaatkan pada tempatnya bisa menjadi bumerang pada manusia sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dewasa ini, internet bukan lagi menjadi barang mahal atau mewah, berbeda di tahun-tahun 90-an. Setiap orang kini mudah untuk mengaksesnya tanpa mengenal status sosial, meski hanya untuk berfesbuk ria.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di makassar, bertambahnya jumlah warnet, menjamurnya warung kopi serta kantor dan kampus yang sudah dilengkapi fasilitas wifi menjadi petanda bahwa internet telah menjadi sesuatu yang paling diburu oleh masyarakat. Hal ini pulalah yang menjadikan penjualan laptop laris manis. Saking larisnya barang yang satu ini, kini bisa didapatkan dengan harga 3 juta untuk jenis netbook.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di salah satu warung kopi, seorang perempuan duduk bersama seorang laki-laki dengan sebuah laptop. Posisi laptop sendiri berada tepat di depan si laki-laki, dan si perempuan hanya ditemani segelas minuman ringan. Si laki-laki terlihat sangat serius memperhatikan “kotak ajaib” di depannya itu tanpa pernah memperhatikan yang disampingnya. Yang namanya “screen” memang punya kekuatan magis untuk menarik kita terus memperhatikan tanpa kedipan mata sekalipun, dari yang namanya tv, bioskop sampai laptop.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selang beberapa waktu si laki-laki masih saja sibuk mengutak-ngatik laptop di didepannya. Sedangkan, si perempuan duduk terdiam mirip patung tanpa ekspresi apapun. Hampir tak ada obrolan pun diantara mereka. Pemandangan ini sendiri bukan sekali saja bagi saya, banyak teman pun pernah menceritakn kejadian serupa. Bahkan seorang teman pernah mendapati yang katanya sih, yang cowok itu “jelek” dan yang si cewek itu “cakep”. Dia malah sempat kepikiran untuk meminjamkan laptopnya sambil berandai-andai agar si cewek bisa jatuh kedalam pelukannya. Uakakakakak....</div>
<div style="text-align: justify;">
“Iya kalo laptopnya milik si cowok? tapi kalo milik si cewek?...wah rusak juga itu si cowok” kata seorang teman lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Benar sih yang namanya realitas itu sampai sekarang ini masih diperdebatkan, banyak buku dan banyak orang pun mengahabiskan hidupnya hanya untuk merumuskan, apa sih itu realitas. Kalo mengacunya yang ke aliran empiris sih, realitas itu yang ter indra i. Sama halnya dengan si perempuan yang ada di samping si laki-laki itulah realitas karena segala indra pun bisa mengecapnya. Beda dengan pancaran teks dan grafik oleh laptop itu yang hanya mampu diliat tok!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan melihat rentetan kejadian ini , secara sepihak bisa dibilang teknologi telah menjadi bumerang. Teknologi telah mengalienasi si laki-laki dan meninggalkan si perempuan dibelakang sendiri. Lagian, kalo mo ditimbang-timbang toh perempuan itu lebih dekat dengan diri si laki-laki dibanding semua yang ada dalam screen laptop itu. Entah apa yang diliatnya dalam layar tersebut, mungkin febsbuk. Dan kalo memang fesbuk maka, benar kata teman saya. Di fesbuk kau bisa mendapatkan teman baru akan tetapi, dibayar dengan mengorbankan teman lamamu.uahahahahahahaha.....</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entahlah, ini hanya konklusi awal dengan hanya melihat seraya memperhatikan ekspresi dan bisa jadi tendensius. Siapa tau,keduanya memang adalah orang yang pendiam, atau keduanya telah menyepakati aturan, bahwa siapapun yang pegang laptop, yang lain diharamkan untuk mengganggu. Entahlah...</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-2595347692101083962009-10-25T23:56:00.000+08:002009-10-26T16:42:29.063+08:00Terima kasihUntuk kesekian kali saya hampir pindah pete'-pete' ketika, yang diatas tinggal saya dan pak sopir. Maklum, si sopir tentunya akan rugi jika terus mempertahankan saya dan bertaruh akan mendapatkan penumpang lagi di atas jam 9 malam. Ditengah kondisi hari ini, dimana harga-harga pada naik, yang kalau mo dihitung-hitung pakai rumus ekonomi paling sedehana, ya hasilnya pak sopir akan merugi. Karena, pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, apalagi kalo ditambah pak sopir itu hanya seorang sopir tembak (istilah untuk sopir yang tak punya mobil). <br /><br />Di saat pak sopir menunggu pete'-pete lain untuk mendrop saya, dua orang perempuan pun kemudian naik. Otomatis, pak sopir tak jadi “membuang saya” dan pete'-pete' pun seketika itu juga tancap gas. Di tengan perjalanan kedua perempuan itu asik bercakap-cakap dalam bahasa ...??? Ambon, atau Irian ya? <br /><span style="font-style:italic;">Tau ah</span>, yang jelas mereka pakai kata “beta”.<br /><br />Setelah salah seorang dari keduanya berkata “kiri” masih dalam dialek diatas dan pak sopir pun menghentikan mobilnya dengan cara “sopan”. Keduanya pun turun dan membayar ongkos. Ketika si sopir mengembalikan kembalian dari uangnya, perempuan yang membayar pun mengambil dan berkata...<br /><br /><br />....terima kasih pak (dalam dialek yang biasa) dan pak sopir pun langsung membalasnya dengan ucapan.....terima kasih pula.<br /><br /><br />“Terima kasih” akhirnya terdengar lagi 2 suku kata itu. Kata-kata yang saya kira sudah punah dan tak laku lagi di zaman sekarang. Khususnya untuk konteks sopir pete'-pete' dan penumpang. Karena yang berlaku ialah naik angkutan umum dan membayar sesuai harga, ya sudah, habis perkara. Tanpa pernah berpikir, bahwa pak sopir dengan segenap energi dalam tubuhnya dan ketulusannya telah mengantar kita dengan selamat sampai dengan di tujuan. Silahkan nilai itu dengan uang di kantong anda? <br /><br />Mungkin ini tidak berlaku untuk semua sopir pete-pete' karena terkadang ada juga sopir pete'-pete' yang “nyebelin”, kata anak jakarta. Tapi,sikap “nyebelin” tersebut bukan tanpa sebab. Berkurangnya pendapatan mereka karena penumpang juga kurang, yang bisa jadi disebabkan karena bertambah banyaknya pete'-pete yang beroperasi. Hal itu bisa jadi lagi diakibatkan oleh, entah itu mau disebut kelalaian, atau kesalahan dinas perhubungan. Dan masih banyak lagi. <br /><br />Saya terkadang membayangkan jika, entah di tahun berapa nanti. Kata-kata seperti terima kasih ini dicatat dalam buku tebal dan lantas dimuseumkan. Dan mungkin di zaman itupun tak ada lagi pertemuan lewat tatap muka langsung. Manusia di zaman itu telah diinput ke dalam bentuk teks dan grafik dan teks dan grafik itulah yang bertemu dan bercakap-cakap.Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-46876289271023606722009-10-21T04:43:00.001+08:002019-03-06T22:21:39.018+08:00Kolor<div style="text-align: justify;">
Di salah satu tempat bersantai yang dilengkapi dengan fasilitas wi-fi plus menu makan dan minum yang cukup variatif. Seorang perempuan duduk bersama seorang laki-laki yang jaraknya kurang lebih 10 meter dari tempat saya. Dari posisi kursi yang hampir tak berjarak serta gerak tubuh, terlihat keduanya punya hubungan lebih dari seorang teman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu pemandangan yang justru akhir-akhir ini sudah jarang saya jumpai pun terpampang jelas tepat di depan mata. (Maaf.....) Celana dalam perempuan tersebut kelihatan, doh!. Entahlah, mungkin karena sok moralis, agamis, humanis, dan is is is lainnya, sesaat setelah itu, saya kemudian menarik kursi dan memilih mengambil posisi membelakangi kedua sejoli tersebut. Dengan satu pertimbangan jelas, apa enaknya memandang celana dalam dari belakang tok!uhahahahaha....</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekonyong-konyong dalam hati bergumam, kenapa ini perempuan memilih pakaian seperti itu? Dari sekian banyak model baju, kenapa dia milih yang itu? Karena dia merasa cantik atau seksi dengan baju tersebut? Lantas, apakah kecantikan dan keseksian diukur dengan jalan seberapa pendek ukuran baju yang dikenakan? Kenapa tidak berpikir bahwa yang disebut cantik dan seksi itu ialah perempuan yang cerdas, pintar misalnya, perempuan dengan sikap dan tutur kata yang sopan, perempuan tegar, ....</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Atau memang semua koleksi bajunya begitu ukurannya? Untuk apa? Pembebasan hasrat? Sebebas bagaimana?atau jangan-jangan yang dimaksud hasrat itu, malah id kalo dalam konsep Freud? Ya kalau itu mau diturutin mah, nantinya manusia sudah gak ada bedanya sama binatang, bukan begitu bukan? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kira-kira bagaimana reaksi jika perempuan tadi mengetahui bahwasanya saya seorang voyeurism (skopofilia). Yang kemudian menjadikan dia sebagai objek seksual saya? Sudikah dia? Semoga tidak. Tapi kalau misalnya iya dan tindakan itu disengaja olehnya, jadilah tempat itu sebagai wadah bertemunya seorang skopofilia dan eksibisionis. Mmm.....menarik itu untuk menyimak apa adegan selanjutnya?uakakakakakkkk...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi pernahkah perempuan itu memikirkan efek dari pakaiannya tersebut? Serta perempuan-permpuan lain diluar sana dengan model pakaian yang sama, rok diatas lutut, kaos tipis dan sebagainya. Wajar saja jika angka kasus pemerkosaan sering terjadi karena bisa jadi pemicunya ialah penutup tubuh kalian tadi yang tak beradab (meminjam istilah seorang teman). Jika begini kasusnya, tolong jangan salahkan para laki-laki karena kalian jugalah yang menjerat diri kalian sendiri. Jika kalian memilih baju yang katakanlah sopan, tertutup, tak beradab, masuk akal kalau saya, mungkin akan lain lagi ceritanya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau kalian sendiri tidak menghormati, menjaga tubuh kalian yaa wajar kalau para pejantan pun berpikiran lain.</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-17083362726600513762009-10-17T14:53:00.000+08:002019-03-06T22:29:12.053+08:00Sekolah<div style="text-align: justify;">
“Sekolah dulu nak, soal istri nanti datang sendiri kalo kau sudah dapat kerja” beginilah ungkap seorang ibu kepada anaknya. Dari sepenggal dialog diatas, dapat dilihat setidaknya dua perspektif dalam memandang sekolah. Pertama, bagaimana sekolah itu dianggap sebagai satu-satunya jalur untuk mendapatkan kerja. Dan yang kedua, bagaimana kerja itu dipercayai menjadi solusi untuk semua permasalahan hidup termasuk kawin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seorang teman, kakak, saudara, sekaligus guru bagi saya pernah berbagi cerita sekelumit tentang sekolah. Dengan ketenangan dan keseriusan yang menjadi karakternya, dia bertutur bagaimana di zaman penjajahan, sekolah itu menjadi solusi dari rakyat biasa (jelata) untuk bisa masuk dalam lingkaran penjajah untuk mengamankan posisi sosial dan ekonomi. Dia kemudian menambahkan bahwa sekarang ini sekolah pun masih dianggap sebagai solusi yang mumpuni untuk keluar dari lubang kemiskinan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Uahahahahahaha.... wajar kiranya jika praktek-praktek kayak kolusi, korupsi, nepotisme masih marak di bangsa ini. Ketiganya bahkan telah mengalir menyatu menjadi menjadi darah yang mengalir ke akal. Bagaimana tidak, yang mereka hindari dengan jalan bersekolah dan bekerja, ialah kemiskinan yang merujuk pada materi. Dan menurut saya, yang namanya hasrat kepemilikan benda-benda itu jika tidak dilengkapi dengan akal dan hati yang sehat, niscaya akan terus menghamba pada keinginan-keinginan tak terbatas. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak sampai disitu saja, sekolah dan menjadi sebuah prestise tersendiri dalam masyarakat. Kalo ndak salah ingat, mirip dengan konsep modal simbolik ala Pierre Bourdieu. Sekolah menjadi sebuah senjata ampuh dalam pertarungan simbol-simbol dalam panggung sosial. Semakin tinggi sekolahnya maka semakin tinggi pula status sosial seseorang. Liat saja ekspresi wajah seseorang jika yang mengetahui lawan bicaranya adalah seorang S3 misalnya. Padahal kalo dipikir-pikir, bukan jaminan bahwa orang yang telah bergelar doktor mang kualitasnya, kualitas doktor. Apalagi dengan mengingat banyaknya praktek penjualan izasah, belum lagi praktek “rusak” dalam ruang-ruang kuliah. Aaaaaa....... </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kembali ke masalah sekolah, sejauh yang saya pikir, saya katakan sejauh karena pikiran saya juga ndak jauh-jauh amat jie. Sekolah itu alangkah baiknya, alangkah bagusnya menjadi sebuah tempat, memanusiakan manusia itu sendiri. Dan itu tujuan substansial dari sekolah. Karena menurut isi kepala saya pribadi, dengan menjadi manusia, seseorang bisa lebih mengenal dirinya, orang lain, alam dan Penciptanya. Seseorang bisa memfungsikan akalnya dengan benar tapi tanpa menutup hati nuraninya. Kalopun yang namanya uang, jabatan, harta, mobil mewah itu resiko jie dan bukan tujuan yang sebenarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entahlah...,jujur, saya bingung harus menutup bagaimana tulisan ini. dengan kalimat apa atau dengan konklusi seperti apa. Saya berharap dengan cara ini, dapat mengundang orang yang jika telah selesai membacanya bisa menyambungnya atau bahkan menelanjanginya. Terserah...yang jelas saya sudah teramat lelah untuk melanjutkannya.</div>
Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-23828348383199748072009-10-17T10:18:00.000+08:002009-10-30T19:46:46.827+08:00Mati lampu, seksualitas dan relasi sosialSekarang ini mungkin hampir di semua wilayah di Indonesia terjadi pemadaman bergilir termasuk di kota Makassar. Hal ini tentunya bukan hal yang baru di negara ini bahkan bisa dibilang sudah sangat akrab. Dari tahun ke tahun ada saja alasan PLN untuk berkelit, membela diri, menumpuk pembenaran diatas pembenaran. Ha?! Entah apa lagi alasannya nanti, dan seakan tak pernah ada usaha berarti dari mereka untuk mengatasi persolan ini.<br /><br />Efeknya ya, banyak perabotan yang menggunakan listrik mengalami kerusakan, aliran air dari PDAM tak lancar, telpon rumah ikut ngadat. Tidak itu saja, mati lampu juga berdampak aktifitas belajar anak sekolah dan kegiatan dalam rumah. Kalau sebelumnya jam tidur mungkin diatas jam 10 malam, kini harus berhenti pada jam 8 malam. Otomatis, tak ada lagi obrolan malam atau sekedar berkumpul dalam keluarga.<br /><br />Namun, di salah sudut kota Makassar tepatnya di jalan Babussalam I para warga punya aktivitas baru ketika wilayah ini kebagian jatah mati lampu. Jika pemadaman berada di sekitaran jam 7 malam, para tetangga depan dan samping rumah, satu persatu mulai keluar dan berkumpul di depan rumah. Mulai dari bapak, ibu, sampe anak-anak pun tak ketinggalan. <br /><br />Obrolan pun beragam, dari soal mengkomentari anak sampai barang perabotan rumah yang baru dibeli. Pernah dalam salah satu obrolan yang pesertanya banyak, seorang bapak sedang memutar radio dengan volume cukup besar. Ketika, siaran radio yang didengarkannya belum selesai, si bapak ini bicara dengan volume suara tak kalah besar dari speaker radio itu. Kalau saya tidak salah ingat, bapak ini mengomentari tentang si penelpon di radio tersebut. Katanya, penelpon tersebut mengeluhkan tentang ketidakharmonisan kehidupan ranjangnya dengan sang istri karena perbedaan umur yang jauh. Si bapak tadi malah menambahkan dengan menuding bahwa alat kelamin si penelpon yang memang sudah tidak "berfungsi" lagi. Spontan saja omongan tersebut disambut dengan tawa oleh bapak dan ibu yang lain.<br /><br />Suatu peristiwa lagi, yang bagi saya pribadi menunjukkan bahwa yang namanya seks itu inheren dalam masyarakat kita. Dia bukan lagi hal yang tabu, setidaknya untuk tetangga-tetangga depan dan samping rumah. Seks, sensualitas telah ada di masyarakat sejak dulu. Ini terlihat jelas dari model pakaian-pakaian tradisional. Untuk perempuan, biasanya terbuka pada bagian dada atau berukuran sempit serta transparan yang tentunya bisa memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh. Sementara bagi para lelaki, terbuka pada bagian dada. Tidak hanya itu di hampir di semua daerah pun punya kitab-kitab resep persetubuhan dan praktek-praktek perawatan alat intim. Jadi mungkin, keliru kalau menganggap kalau itu berasal dari Barat dan bukan budaya kita orang Indonesia. <br /><br />Diluar dari paragraf diatas, pemadaman lampu ternyata sadar tak sadar telah membuka ruang interaksi sosial antar warga yang lebih besar. Mereka kini mempunyai waktu yang lama untuk saling berbagi cerita, entah itu pengalaman atau apa. Yang jelas lewat kumpul-kumpul ini memungkinkan terciptanya suatu ikatan emosional yang lebih erat antar mereka dan bisa menumbuhkan rasa solidaritas yang semakin tinggi. Semoga. <br /><br />Ada tonji paeng untungnya ini mati lampu.Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-60424655974343734242009-10-17T04:59:00.000+08:002009-10-29T20:22:30.258+08:00Merayakan KematianKetika kehidupan diciptakan maka seketika itu pula tercipta yang namanya kematian. “Semua mati dan menghilang”, ungkap Pure Saturday dalam salah satu lagunya. Menggambarkan bahwa kematian itu, hukumnya niscaya bagi semua makhluk. <br /><br />Kalo kehidupan itu dibaratkan sebuah film maka kematian adalah endingnya. Dan layaknya film pula, bagaimana endingnya kita takkan tau seperti apa. Kecuali, jika kita menonton filmnya sampai habis. <br /><br />Dalam setiap kebudayaan manusia di semua tempat, terdapat banyak ritual tersendiri akan kematian. Di toraja dikenal upacara “Rambu Solo”. Sebuah upacara kematian yang terlihat sangat menghabiskan banyak uang dan energi. Dan karena ini pulalah acara ini sering mendapat kritikan, serangan, protes, cibiran atau geleng-gelengan kepala tak terkecuali dari orang toraja sendiri. <br /><br />Saya ingat seorang pendeta dalam khutbahnya pernah mengkritik upacara ini. Dia mengatakan bahwa acara ini terlalu boros lantas menambahkan bahwa hal inilah yang akan membuat masyarakat toraja tidak pernah maju. <br /><br />Membicarakan kematian mungkin mengerikan atau menyedihkan bagi sebagian orang. Siapa sih diantara kita yang rela kehilangan seorang yang dicintai?<br /><br />Akan tetapi, bagi orang-orang orang ber-Tuhan atau apapun penyebutan-Nya, kematian adalah berakhirnya kehidupan di dunia yang fana ini dan bukan berarti akhir dari segalanya. Melainkan adalah sebuah awal mula perjalanan baru menuju, mendekati Tuhan atau apapun namanya. Dalam Sufisme di Islam kematian bahkan sebuah kondisi yang dirindukan.<br /><br />Dan jika memang demikian adanya, mungkin bisa dimengeri kenapa orang toraja rela menghamburkan uang dan energinya. Karena bisa jadi begitulah pandangan orang toraja. Bahwa kematian merupakan perjumpaan dengan Sang Khalik jadi, sudah sebaiknya kematian itu dirayakan. Siapa yang tak bahagia bertemu dengan sang pencipta?<br /><br />Kematian tersenyum kepada semua orang dan kita hanya bisa membalas senyumannya (Gladiator).Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-370928529247786629.post-18400911582426534462009-10-01T11:53:00.001+08:002009-10-02T02:42:11.951+08:00Yang Tak Selesai...Tak Pernah SelesaiDalam tradisi agama dan sebagian besar aliran dalam Kristen, hari minggu diyakini hari yang suci. Sama ketika Islam dengan hari jumat-nya. Terkecuali, Advent yang memilih hari sabtu. Kenapa mesti minggu? Kristen pastinya mempunyai banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Jawaban sangat berbeda akan ditemui jika membaca novel “Da Vinci Code” (Dan Brawn) atau menonton film “Zeitgest”. <br /><br />Tulisan ini tidak akan menceritakan tentang perbedaan pandangan dan perdebatan soal itu. Namun, masih terkait dengan perayaan minggu umat Kristen khususnya Protestan. Lebih khusus lagi, ibadah minggu gereja Toraja. <br /><br />Pada suatu kesempatan ibadah minggu di sebuah gereja. Seperti biasa, ketika ibadah akan dimulai, seseorang akan muncul di depan jemaat. Memberi salam kemudian memandu pujian sebagai petanda dimulainya ibadah. Orang tersebut (laki-laki/perempuan) dikenal sebagai penatua gereja atau majelis. Orang itu juag bertugas mengumumkan tentang liturgi yang digunakan dan memperkenalkan pengkhotbah. Nah, di saat memperkenalkan pengkhotbah inilah, ibu majelis berkata.... <br />Anggap saja kayak gini ni redaksinya; “yang akan ambil bagian dalam ibadah kali ini ialah bapak Marten dari Jakarta” (beribu maaf kepada yang bernama marten ini hanya contoh). <br /><br />Yang membuat hati gundah gulana dan pikiran sekonyong-konyong heran, ialah penyebutan “Jakarta” . I'ts ok jika itu hanya sekedar informasi tentang asal pengkhotbah. Itu wajar. Namun, begemana jika tujuannya lebih dari itu?. Misalnya, penyebutan “Jakarta” untuk menaikkan prestise atau katakanlah nilai jual pengkhotbah tersebut. Wah....wah....wah...darimana kemana ni? Lantas, kenapa kalau dia dari Jakarta? Dia itu lebih pinter? Atau, kadar iman orang Jakarta lebih bagus bobot bibit-nya dengan yang di luar jakarta?<br /><br />Saya kira pengetahuan itu ada di semua tempat. Dan tak ada yang bisa mengklaim bahwa pengetahuan disana misalnya, lebih unggul dari pengetahuan disitu. Setiap pengetahuan itu tumbuh erat berkaitan dengan konteks dimana dia lahir. Jadi, keliru kalau memakai pengetahuan Jakarta untuk mengukur pengetahuan Makassar dan begitupun sebaliknya. Apalagi, kalau ngomongin soal iman, apa ukurannya coba? Disini, saya tak bermaksud memisahakan antara iman dan pengetahuan karena bagi saya pribadi keduanya saling melengkapi, menunjang. <br /><br />Semoga saja penyebutannya bertjuan untuk informasi asal pengkhotbah tok dan tidak lebih dari itu.<br /><br />Lebih lanjut dalam khotbahnya, bapak marten (sekali lagi, beribu maaf kepada orang bernama marten) menceritakan tentang bagaimana prestasi orang Kristen di luar. Disini, prestasi diukur dengan seberapa tinggi posisi jabatan seorang Kristen dalam suatu insititusi pemerintah atau swasta. Bercerita tentang beberapa orang temannya, yang dalam kamusnya adalah orang “kristen berhasil”. Dari pengalaman-pengalaman inilah, dia kemudian berbagi resep, tips, rahasia menjadi orang sukses mirip cerita-cerita dalam buku chicken soup. Dia menganjurkan kepada jemaat khususnya generasi muda agar mempunyai jiwa kompetisi berlandaskan iman percaya. <br /><br />Pertanyaan yang sontak terlintas ialah, kompetisi macem ape tu yang dilandasi iman? Siapa yang kita lawan dalam kompetisi itu? saudara? teman? penganut agama lain? atau kristen yang lain? <br /><br />Di dalam kompetisi terkadang ada adegan saling sikut, saling jegal antar peserta kompetisi. Lantas kemana dong kasih saat itu? Kasih yang setau saya menjadi pondasi iman Kristen, bukan begitu bukan? <br /><br /><br />Ya okie-lah kompetisi, kompetisi yang fair, mungkin itu yang dimaksud. Akan tetapi, tolong tunjukkan dimana dan model kompetisi bagaimana yang fair? Dimana semua-muanya bayar, dimana semua-muanya menanyakan nama keluarga? Dimana yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin? <br /><br />Lagian, kalo direnungkan-renungkan untuk alasan apa sih berkompetisi? <br />Oks....oks untuk menang yang nantinya menghasilkan nama besar, kekuasaan, kekayaan. Trus, apa hubungan antara itu semua dengan iman kepada Tuhan? Ataukah bertambahnya kualitas iman berbarengan dengan naiknya jabatan dan gaji? <br /><br />Trus, adakah hubungan antara kedudukan di dunia dan iman kepada tuhan? Ataukah kristen sekarang ini, memang seperti yang dimaksud oleh Max Webber?. Kristen dengan prinsip kaya di dunia, kaya di akhirat. Tanpa mau peduli kekayaannya mau diambil dari mana, yang penting kaya di dunia dan mati masuk sorga.<br /><br />Atau si pak pengkhotbah ini melihat bahwa pemenang dalam kompetisi lebih pantes di hadapan Tuhan dibanding yang kalah atau tidak mau berkompetisi? Dengan kata lain tak ada tempat bagi kristen-kristen tak punya jabatan hadapan Tuhan?<br /> <br />Doh, sejauh yang saya tau. Praktik hidup yesus tak pernah bergelimang harta dan kekuasaan atau jabatan. Yesus malah terlihat sangat sederhana dalam kehidupannya. <br /><br />Kalau saja yang dimaksud pengkhotbah ini adalah kompetisi dalam mempertebal iman. Meniru dan mempraktekkan sikap hidup yesus dalam keseharian. Eik mungkin setuju....<br /><br /><br />Semoga itu yang dimaksud bapak pengkhotbah yang jauh-jauh dari Jakarta.<br /><br /><br /> <br />29 September 2009. <br />Di makassar dalam cuaca yang gerah.Victor Sosanghttp://www.blogger.com/profile/12129237160486492925noreply@blogger.com0