Setelah lama tak dinantikan, akhirnya, untuk kesekian kali gelar “tinju bebas” pun berlangsung. Dengan promotor yang sama, pertandingan mengambil tempat di gelanggang Tanjung Priok, Jakarta . Partai ini menghadirkan aparat negara di sebelah kanan ring sebagai juara bertahan versus warga yang berada di sebelah kiri.
Yang namanya pertandingan terkadang memang susah diramal, siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Para analis sudah memprediksi namun, kenyataan di lapangan biasanya bertolak belakang dengan hasil itung-itungan di atas kertas. Dan kali ini, setelah beberapa kali berhasil mendominasi menyabet titel juara, satpol PP dan polisi pun tumbang oleh perlawanan sengit warga.
Hasil statistik yang dilansir oleh sebuah tv swasta menunjukkan 300 korban luka; 10 polisi, 66 satpol PP dan 54 warga (kabar terakhir 1 orang satpol PP tewas). Dari hasil ini, warga secara otomatis keluar sebagai pemenang denga menang KO mempertahankan makam dan memukul mundur ratusan satpol PP dan polisi dan menang TKO jumlah korban yang lebih sedikit.
Sengketa selalu menjadi sebab musabab terjadinya pertarungan ini, entah itu rumah, lahan dan sebagainya. Kenapa persitiwa seperti ini begitu sering terjadi? Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut.
Akan tetapi, diluar pertanyaan itu, “keberhasilan” warga mempertahankan tanah makam Mbah Priuk sangat perlu diacungi dua jempol. Betapa tidak, dengan bermodalkan peralatan seadanya mereka berhasil memukul mundur aparat yang mempunyai persenjataan lebih lengkap, modern dengan standar keamanan tinggi.
Mungkin spirit, mungkin semangat, mungkin kepercayaan serta metafisis lainnya yang menjadikan warga begitu kuat mempertahankan lahan makam. Dan, tanpa ingin menafikan dan mengkerdilkan itu. Bisa jadi, dalam setiap ayunan tongkat/bambu dan lemparan batu warga adalah bentuk pelampiasan dari rasa frustrasi mereka terhadap kondisi negara ini.
Siapa yang tahu, seandainya, diantara para warga tersebut; Ada seorang bapak yang kini harus bingung mencari makan untuk anak-anaknya, sehabis di-PHK. Ada seorang yatim yang bersama ibunya tinggal di kolong jembatan karena rumah mereka telah digusur. Ada seorang alumni perguruan tinggi yang sudah lima tahun ini tak kunjung memperoleh pekerjaan. Ada seorang yang baru keluar dari penjara karena tertangkap mencuri untuk membiayai sekolah adiknya. Ada seorang yang menderita cacat ringan akibat pukulan aparat pada kerusuhan sebelumnya.
Pada akhirnya, yang korban adalah yang kecil. Bagaimanapun, seorang Satpol PP dan polisi hanya menjalankan perintah atasannya (menjalankan tugasnya) dan untuk menafkahi keluarganya di rumah. Sama halnya dengan warga yang menjadi lawan tandingnya.
Komentar
wuhahahaahaaa
"Ada seorang alumni perguruan tinggi yang sudah lima tahun ini tak kunjung memperoleh pekerjaan."
kyknya tak perlu jauh-jauh mengambil kasus Priok mbah vic.
he...he...he....!!!