Beberapa waktu yang lalu sempat riuh terdengar kebijakan Bupati Toraja Utara untuk mengeluarkan stempel halal kepada warung-warung makan yang ada di kabupaten pemekaran tersebut. Menuai protes pada awalnya akan tetapi sejauh pemantauan di dunia internet kebijakan ini tetap dilaksanakan dengan memberi stempel halal di plang warung-warung yang memang menyajikan menu yang bisa dikonsumsi siapapun.
Dan, di tahun 2019 ini, orang nomor 2 di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan tentang wisata halal yang rencananya akan dijadikan brand image untuk pariwisata tana toraja. Hal ini pun menuai protes dari berbagai kalangan di toraja, mulai dari kalangan muda, dari berbagai profesi pekerjaan, dari aparat negara sampai pada rohaniawan serta budayawan.
Kata halal kemudian menjadi polemik ketika diproduksi dan dilempar ke khalayak ramai.
Sekonyong-konyong orang pastinya akan berpikir;
- Ketika bupati toraja menyebutkan warung “halal” maka secara langsung orang akan menilai bahwa si bupati (pada saat menyebutkan warung “halal”), dia (bupati) secara otomatis mengakui adanya keberadaan warung “haram”. Sama halnya dengan,
- Ketika wakil gubernur mengatakan wisata “halal” secara langsung, wakil gubernur ini mengakui keberadaan wisata “haram”.
Ini kesimpulan pemikiran yang marak sekarang ini terhadap pernyataan dari Wakil Gubernur. Singkatnya, beberapa kepala ketika mendengar kata “halal” sontak saja langsung mengklasifikasi dunia dalam dua bagian, bahwa jika ada “halal” pastinya ada juga yang namanya “haram”.
Pada konteks berpikir diatas, oleh Nietszche dikatakan bahwa kata “halal” tersebut tidak lagi hanya merupakan sebuah kata namun telah dibakukan, dipercaya mewakili entitas tertentu, sebuah kebenaran tunggal. Lebih jauh Nietzsche mengatakan bahwa sebuah kata terkadang bagi sebagian orang mewakili sebuah metafisika atau cara berpikir tertentu yang kemudian mendukung kata tersebut. Kenapa ini disebut halal misalnya, karena telah mempunyai ciri-ciri tertentu dan jika diluar ciri-ciri tertentu tersebut maka kemudian itu salah (moralitas; baik-buruk,benar-salah). Persoalan kemudian ketika ketika keyakinan akan metafisika tersebut atau cara berpikir tersebut kemudian membuat kita menjustifikasi hal-hal yang sepatutnya tidak bisa dijustifikasi, (contohnya; menuduh bahwa dengan mem-brand imagekan wisata toraja dengan wisata halal berarti wakil gubernur telah menganggap bahwa selama ini wisata toraja adalah wisata haram). Namun, justifikasi yang dilakukan tersebut hanya yang untuk membenarkan diri sendiri (psikologi).
Halal adalah sebuah realitas yang hadir di tengah kita, yang tidak berani menghadapinya tentunya kelihatan dari cara menyikapinya; reaksi berlebihan, mencak-mencak, irasional.
Bagi Nietzsche kata hanya sebuah representasi suara hasil dari rangsangan syaraf dalam suara, tanpa ada makna metafisis ap-apa. Halal hanya sebuah kata tanpa dibakukan, tanpa mewakili entitas tertentu, bukan kebenaran tunggal, yang tentunya tanpa moralitas.
Kembali wisata halal yang menjadi kontroversi, mungkin saja kata halal diatas selaras dengan definsi kata oleh Nietzsche. Mengatakan halal tidak otomatis mewakili entitas tertentu, tidak mewakili agama apapun, dia bukan konsep agama tertentu, dia tanpa moralitas.
Ini hanya sebuah kebijakan bagaimana mengatur pariwisata agar bisa diakses oleh semua orang, bagaimana agar pariwisata terbuka bagi siapa saja, ini hanya sebuah buah promosi bisnis belaka, pencitraan.
Jadi santai saja, ucapan mereka berdua diatas mungkin hanya sama seperti apa yang disampaikan Nietszche diatas, bahwa kata wisata halal tidak punya akar metafisis, dia hanya rangsangan subjektifitas, tidak akan sampai melululantahkan tatanan adat dan nilai di toraja.
Singkat kata jika memang toraja ingin mencapai kesuksesan dalam dunia pariwasata, menjadikan pariwisata sebagi objek jualan guna peningkatan pendapat daerah demi kesejahteraan masyarakat. Maka mau tidak mau, setelah semua pembangunan yang dilakukan atas nama pariwisata, setelah sawah dan kebun diratakan untuk hotel, resort dan apapun namanya, anggaran ratusan milyar untuk pembangunan fasilitas wisata. Maka konsep wisata halal bukanlah hal yang harus ditakuti. Tetap berkacalah sama seperti Nietzsche bahwa ini hanya sebuah kata.
Komentar