Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2009

Terima kasih

Untuk kesekian kali saya hampir pindah pete'-pete' ketika, yang diatas tinggal saya dan pak sopir. Maklum, si sopir tentunya akan rugi jika terus mempertahankan saya dan bertaruh akan mendapatkan penumpang lagi di atas jam 9 malam. Ditengah kondisi hari ini, dimana harga-harga pada naik, yang kalau mo dihitung-hitung pakai rumus ekonomi paling sedehana, ya hasilnya pak sopir akan merugi. Karena, pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, apalagi kalo ditambah pak sopir itu hanya seorang sopir tembak (istilah untuk sopir yang tak punya mobil). Di saat pak sopir menunggu pete'-pete lain untuk mendrop saya, dua orang perempuan pun kemudian naik. Otomatis, pak sopir tak jadi “membuang saya” dan pete'-pete' pun seketika itu juga tancap gas. Di tengan perjalanan kedua perempuan itu asik bercakap-cakap dalam bahasa ...??? Ambon, atau Irian ya? Tau ah , yang jelas mereka pakai kata “beta”. Setelah salah seorang dari keduanya berkata “kiri” masih dalam dialek diatas dan pa

Kolor

Di salah satu tempat bersantai yang dilengkapi dengan fasilitas wi-fi plus menu makan dan minum yang cukup variatif. Seorang perempuan duduk bersama seorang laki-laki yang jaraknya kurang lebih 10 meter dari tempat saya. Dari posisi kursi yang hampir tak berjarak serta gerak tubuh, terlihat keduanya punya hubungan lebih dari seorang teman. Satu pemandangan yang justru akhir-akhir ini sudah jarang saya jumpai pun terpampang jelas tepat di depan mata. (Maaf.....) Celana dalam perempuan tersebut kelihatan, doh!. Entahlah, mungkin karena sok moralis, agamis, humanis, dan is is is lainnya, sesaat setelah itu, saya kemudian menarik kursi dan memilih mengambil posisi membelakangi kedua sejoli tersebut. Dengan satu pertimbangan jelas, apa enaknya memandang celana dalam dari belakang tok!uhahahahaha.... Sekonyong-konyong dalam hati bergumam, kenapa ini perempuan memilih pakaian seperti itu? Dari sekian banyak model baju, kenapa dia milih yang itu? Karena dia merasa cantik atau seksi de

Sekolah

“Sekolah dulu nak, soal istri nanti datang sendiri kalo kau sudah dapat kerja” beginilah ungkap seorang ibu kepada anaknya. Dari sepenggal dialog diatas, dapat dilihat setidaknya dua perspektif dalam memandang sekolah. Pertama, bagaimana sekolah itu dianggap sebagai satu-satunya jalur untuk mendapatkan kerja. Dan yang kedua, bagaimana kerja itu dipercayai menjadi solusi untuk semua permasalahan hidup termasuk kawin. Seorang teman, kakak, saudara, sekaligus guru bagi saya pernah berbagi cerita sekelumit tentang sekolah. Dengan ketenangan dan keseriusan yang menjadi karakternya, dia bertutur bagaimana di zaman penjajahan, sekolah itu menjadi solusi dari rakyat biasa (jelata) untuk bisa masuk dalam lingkaran penjajah untuk mengamankan posisi sosial dan ekonomi. Dia kemudian menambahkan bahwa sekarang ini sekolah pun masih dianggap sebagai solusi yang mumpuni untuk keluar dari lubang kemiskinan. Uahahahahahaha.... wajar kiranya jika praktek-praktek kayak kolusi, korupsi, nepoti

Mati lampu, seksualitas dan relasi sosial

Sekarang ini mungkin hampir di semua wilayah di Indonesia terjadi pemadaman bergilir termasuk di kota Makassar. Hal ini tentunya bukan hal yang baru di negara ini bahkan bisa dibilang sudah sangat akrab. Dari tahun ke tahun ada saja alasan PLN untuk berkelit, membela diri, menumpuk pembenaran diatas pembenaran. Ha?! Entah apa lagi alasannya nanti, dan seakan tak pernah ada usaha berarti dari mereka untuk mengatasi persolan ini. Efeknya ya, banyak perabotan yang menggunakan listrik mengalami kerusakan, aliran air dari PDAM tak lancar, telpon rumah ikut ngadat. Tidak itu saja, mati lampu juga berdampak aktifitas belajar anak sekolah dan kegiatan dalam rumah. Kalau sebelumnya jam tidur mungkin diatas jam 10 malam, kini harus berhenti pada jam 8 malam. Otomatis, tak ada lagi obrolan malam atau sekedar berkumpul dalam keluarga. Namun, di salah sudut kota Makassar tepatnya di jalan Babussalam I para warga punya aktivitas baru ketika wilayah ini kebagian jatah mati lampu. Jika pemadaman bera

Merayakan Kematian

Ketika kehidupan diciptakan maka seketika itu pula tercipta yang namanya kematian. “Semua mati dan menghilang”, ungkap Pure Saturday dalam salah satu lagunya. Menggambarkan bahwa kematian itu, hukumnya niscaya bagi semua makhluk. Kalo kehidupan itu dibaratkan sebuah film maka kematian adalah endingnya. Dan layaknya film pula, bagaimana endingnya kita takkan tau seperti apa. Kecuali, jika kita menonton filmnya sampai habis. Dalam setiap kebudayaan manusia di semua tempat, terdapat banyak ritual tersendiri akan kematian. Di toraja dikenal upacara “Rambu Solo”. Sebuah upacara kematian yang terlihat sangat menghabiskan banyak uang dan energi. Dan karena ini pulalah acara ini sering mendapat kritikan, serangan, protes, cibiran atau geleng-gelengan kepala tak terkecuali dari orang toraja sendiri. Saya ingat seorang pendeta dalam khutbahnya pernah mengkritik upacara ini. Dia mengatakan bahwa acara ini terlalu boros lantas menambahkan bahwa hal inilah yang akan membuat masyarakat tora

Yang Tak Selesai...Tak Pernah Selesai

Dalam tradisi agama dan sebagian besar aliran dalam Kristen, hari minggu diyakini hari yang suci. Sama ketika Islam dengan hari jumat-nya. Terkecuali, Advent yang memilih hari sabtu. Kenapa mesti minggu? Kristen pastinya mempunyai banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Jawaban sangat berbeda akan ditemui jika membaca novel “Da Vinci Code” (Dan Brawn) atau menonton film “Zeitgest”. Tulisan ini tidak akan menceritakan tentang perbedaan pandangan dan perdebatan soal itu. Namun, masih terkait dengan perayaan minggu umat Kristen khususnya Protestan. Lebih khusus lagi, ibadah minggu gereja Toraja. Pada suatu kesempatan ibadah minggu di sebuah gereja. Seperti biasa, ketika ibadah akan dimulai, seseorang akan muncul di depan jemaat. Memberi salam kemudian memandu pujian sebagai petanda dimulainya ibadah. Orang tersebut (laki-laki/perempuan) dikenal sebagai penatua gereja atau majelis. Orang itu juag bertugas mengumumkan tentang liturgi yang digunakan dan memperkenalkan pengkhotbah. Nah, di