Untuk kesekian kali saya hampir pindah pete'-pete' ketika, yang diatas tinggal saya dan pak sopir. Maklum, si sopir tentunya akan rugi jika terus mempertahankan saya dan bertaruh akan mendapatkan penumpang lagi di atas jam 9 malam. Ditengah kondisi hari ini, dimana harga-harga pada naik, yang kalau mo dihitung-hitung pakai rumus ekonomi paling sedehana, ya hasilnya pak sopir akan merugi. Karena, pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, apalagi kalo ditambah pak sopir itu hanya seorang sopir tembak (istilah untuk sopir yang tak punya mobil).
Di saat pak sopir menunggu pete'-pete lain untuk mendrop saya, dua orang perempuan pun kemudian naik. Otomatis, pak sopir tak jadi “membuang saya” dan pete'-pete' pun seketika itu juga tancap gas. Di tengan perjalanan kedua perempuan itu asik bercakap-cakap dalam bahasa ...??? Ambon, atau Irian ya?
Tau ah, yang jelas mereka pakai kata “beta”.
Setelah salah seorang dari keduanya berkata “kiri” masih dalam dialek diatas dan pak sopir pun menghentikan mobilnya dengan cara “sopan”. Keduanya pun turun dan membayar ongkos. Ketika si sopir mengembalikan kembalian dari uangnya, perempuan yang membayar pun mengambil dan berkata...
....terima kasih pak (dalam dialek yang biasa) dan pak sopir pun langsung membalasnya dengan ucapan.....terima kasih pula.
“Terima kasih” akhirnya terdengar lagi 2 suku kata itu. Kata-kata yang saya kira sudah punah dan tak laku lagi di zaman sekarang. Khususnya untuk konteks sopir pete'-pete' dan penumpang. Karena yang berlaku ialah naik angkutan umum dan membayar sesuai harga, ya sudah, habis perkara. Tanpa pernah berpikir, bahwa pak sopir dengan segenap energi dalam tubuhnya dan ketulusannya telah mengantar kita dengan selamat sampai dengan di tujuan. Silahkan nilai itu dengan uang di kantong anda?
Mungkin ini tidak berlaku untuk semua sopir pete-pete' karena terkadang ada juga sopir pete'-pete' yang “nyebelin”, kata anak jakarta. Tapi,sikap “nyebelin” tersebut bukan tanpa sebab. Berkurangnya pendapatan mereka karena penumpang juga kurang, yang bisa jadi disebabkan karena bertambah banyaknya pete'-pete yang beroperasi. Hal itu bisa jadi lagi diakibatkan oleh, entah itu mau disebut kelalaian, atau kesalahan dinas perhubungan. Dan masih banyak lagi.
Saya terkadang membayangkan jika, entah di tahun berapa nanti. Kata-kata seperti terima kasih ini dicatat dalam buku tebal dan lantas dimuseumkan. Dan mungkin di zaman itupun tak ada lagi pertemuan lewat tatap muka langsung. Manusia di zaman itu telah diinput ke dalam bentuk teks dan grafik dan teks dan grafik itulah yang bertemu dan bercakap-cakap.
Di saat pak sopir menunggu pete'-pete lain untuk mendrop saya, dua orang perempuan pun kemudian naik. Otomatis, pak sopir tak jadi “membuang saya” dan pete'-pete' pun seketika itu juga tancap gas. Di tengan perjalanan kedua perempuan itu asik bercakap-cakap dalam bahasa ...??? Ambon, atau Irian ya?
Tau ah, yang jelas mereka pakai kata “beta”.
Setelah salah seorang dari keduanya berkata “kiri” masih dalam dialek diatas dan pak sopir pun menghentikan mobilnya dengan cara “sopan”. Keduanya pun turun dan membayar ongkos. Ketika si sopir mengembalikan kembalian dari uangnya, perempuan yang membayar pun mengambil dan berkata...
....terima kasih pak (dalam dialek yang biasa) dan pak sopir pun langsung membalasnya dengan ucapan.....terima kasih pula.
“Terima kasih” akhirnya terdengar lagi 2 suku kata itu. Kata-kata yang saya kira sudah punah dan tak laku lagi di zaman sekarang. Khususnya untuk konteks sopir pete'-pete' dan penumpang. Karena yang berlaku ialah naik angkutan umum dan membayar sesuai harga, ya sudah, habis perkara. Tanpa pernah berpikir, bahwa pak sopir dengan segenap energi dalam tubuhnya dan ketulusannya telah mengantar kita dengan selamat sampai dengan di tujuan. Silahkan nilai itu dengan uang di kantong anda?
Mungkin ini tidak berlaku untuk semua sopir pete-pete' karena terkadang ada juga sopir pete'-pete' yang “nyebelin”, kata anak jakarta. Tapi,sikap “nyebelin” tersebut bukan tanpa sebab. Berkurangnya pendapatan mereka karena penumpang juga kurang, yang bisa jadi disebabkan karena bertambah banyaknya pete'-pete yang beroperasi. Hal itu bisa jadi lagi diakibatkan oleh, entah itu mau disebut kelalaian, atau kesalahan dinas perhubungan. Dan masih banyak lagi.
Saya terkadang membayangkan jika, entah di tahun berapa nanti. Kata-kata seperti terima kasih ini dicatat dalam buku tebal dan lantas dimuseumkan. Dan mungkin di zaman itupun tak ada lagi pertemuan lewat tatap muka langsung. Manusia di zaman itu telah diinput ke dalam bentuk teks dan grafik dan teks dan grafik itulah yang bertemu dan bercakap-cakap.
Komentar