Langsung ke konten utama

Merayakan Kematian

Ketika kehidupan diciptakan maka seketika itu pula tercipta yang namanya kematian. “Semua mati dan menghilang”, ungkap Pure Saturday dalam salah satu lagunya. Menggambarkan bahwa kematian itu, hukumnya niscaya bagi semua makhluk.

Kalo kehidupan itu dibaratkan sebuah film maka kematian adalah endingnya. Dan layaknya film pula, bagaimana endingnya kita takkan tau seperti apa. Kecuali, jika kita menonton filmnya sampai habis.

Dalam setiap kebudayaan manusia di semua tempat, terdapat banyak ritual tersendiri akan kematian. Di toraja dikenal upacara “Rambu Solo”. Sebuah upacara kematian yang terlihat sangat menghabiskan banyak uang dan energi. Dan karena ini pulalah acara ini sering mendapat kritikan, serangan, protes, cibiran atau geleng-gelengan kepala tak terkecuali dari orang toraja sendiri.

Saya ingat seorang pendeta dalam khutbahnya pernah mengkritik upacara ini. Dia mengatakan bahwa acara ini terlalu boros lantas menambahkan bahwa hal inilah yang akan membuat masyarakat toraja tidak pernah maju.

Membicarakan kematian mungkin mengerikan atau menyedihkan bagi sebagian orang. Siapa sih diantara kita yang rela kehilangan seorang yang dicintai?

Akan tetapi, bagi orang-orang orang ber-Tuhan atau apapun penyebutan-Nya, kematian adalah berakhirnya kehidupan di dunia yang fana ini dan bukan berarti akhir dari segalanya. Melainkan adalah sebuah awal mula perjalanan baru menuju, mendekati Tuhan atau apapun namanya. Dalam Sufisme di Islam kematian bahkan sebuah kondisi yang dirindukan.

Dan jika memang demikian adanya, mungkin bisa dimengeri kenapa orang toraja rela menghamburkan uang dan energinya. Karena bisa jadi begitulah pandangan orang toraja. Bahwa kematian merupakan perjumpaan dengan Sang Khalik jadi, sudah sebaiknya kematian itu dirayakan. Siapa yang tak bahagia bertemu dengan sang pencipta?

Kematian tersenyum kepada semua orang dan kita hanya bisa membalas senyumannya (Gladiator).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 jam Obama

…Ada beberapa hal menarik menyaksikan semua gerak Obama dari layar tv dalam ku dalam kunjungan 22 jamnya di Indonesia. Ketika acara jamuan santap malam, seusai protokol acara membacakan basa-basinya, presiden Barack Obama kemudian berdiri meninggalkan kursinya dan berbisik ke SBY kemudian berjalan sendiri menyalami sebagian dari tamu undangan acara tersebut. Gelagat Obama sontak membuat SBY terlihat celingak celinguk melihat tingkah dari laki-laki keturunan Afro-America itu. “Ini khan tak ada dalam draft protokoler acara”, mungkin begitu pikir SBY. Satu hal jelas yang diperlihatkan oleh Obama bahwa seorang presiden yang punya banyak hak, tidak harus kaku dan tunduk patuh mengikuti semua prosedur protokoler. Seorang presiden bisa dengan entengya melenggang sesuai konteks kejadian dimana presiden hadir. Menyambung tulisan Yusran Darmawan (timurangin.blogspot.com) tentang bagaimana lebih tanggapnya para pembaca KOMPAS ketimbang negara dalam menyalurkan bantuan ke para pe

INI HANYA SEBUAH KATA

   Beberapa waktu yang lalu sempat riuh terdengar kebijakan Bupati Toraja Utara untuk mengeluarkan stempel halal kepada warung-warung makan yang ada di kabupaten pemekaran tersebut. Menuai protes pada awalnya akan tetapi sejauh pemantauan di dunia internet kebijakan ini tetap dilaksanakan dengan memberi stempel halal di plang warung-warung yang memang menyajikan menu yang bisa dikonsumsi siapapun.      Dan, di tahun 2019 ini, orang nomor 2 di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan tentang wisata halal yang rencananya akan dijadikan brand image untuk pariwisata tana toraja. Hal ini pun menuai protes dari berbagai kalangan di toraja, mulai dari kalangan muda, dari berbagai profesi pekerjaan, dari aparat negara sampai pada rohaniawan serta budayawan. Kata halal kemudian menjadi polemik ketika diproduksi dan dilempar ke khalayak ramai.      Sekonyong-konyong orang pastinya akan berpikir; - Ketika bupati toraja menyebutkan warung “halal” maka secara langsung orang akan menil

Dari Gelanggang ke gelanggang

Setelah lama tak dinantikan, akhirnya, untuk kesekian kali gelar “tinju bebas” pun berlangsung. Dengan promotor yang sama, pertandingan mengambil tempat di gelanggang Tanjung Priok, Jakarta . Partai ini menghadirkan aparat negara di sebelah kanan ring sebagai juara bertahan versus warga yang berada di sebelah kiri. Yang namanya pertandingan terkadang memang susah diramal, siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Para analis sudah memprediksi namun, kenyataan di lapangan biasanya bertolak belakang dengan hasil itung-itungan di atas kertas. Dan kali ini, setelah beberapa kali berhasil mendominasi menyabet titel juara, satpol PP dan polisi pun tumbang oleh perlawanan sengit warga. Hasil statistik yang dilansir oleh sebuah tv swasta menunjukkan 300 korban luka; 10 polisi, 66 satpol PP dan 54 warga (kabar terakhir 1 orang satpol PP tewas). Dari hasil ini, warga secara otomatis keluar sebagai pemenang denga menang KO mempertahankan makam dan memukul mund