Dalam tradisi agama dan sebagian besar aliran dalam Kristen, hari minggu diyakini hari yang suci. Sama ketika Islam dengan hari jumat-nya. Terkecuali, Advent yang memilih hari sabtu. Kenapa mesti minggu? Kristen pastinya mempunyai banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Jawaban sangat berbeda akan ditemui jika membaca novel “Da Vinci Code” (Dan Brawn) atau menonton film “Zeitgest”.
Tulisan ini tidak akan menceritakan tentang perbedaan pandangan dan perdebatan soal itu. Namun, masih terkait dengan perayaan minggu umat Kristen khususnya Protestan. Lebih khusus lagi, ibadah minggu gereja Toraja.
Pada suatu kesempatan ibadah minggu di sebuah gereja. Seperti biasa, ketika ibadah akan dimulai, seseorang akan muncul di depan jemaat. Memberi salam kemudian memandu pujian sebagai petanda dimulainya ibadah. Orang tersebut (laki-laki/perempuan) dikenal sebagai penatua gereja atau majelis. Orang itu juag bertugas mengumumkan tentang liturgi yang digunakan dan memperkenalkan pengkhotbah. Nah, di saat memperkenalkan pengkhotbah inilah, ibu majelis berkata....
Anggap saja kayak gini ni redaksinya; “yang akan ambil bagian dalam ibadah kali ini ialah bapak Marten dari Jakarta” (beribu maaf kepada yang bernama marten ini hanya contoh).
Yang membuat hati gundah gulana dan pikiran sekonyong-konyong heran, ialah penyebutan “Jakarta” . I'ts ok jika itu hanya sekedar informasi tentang asal pengkhotbah. Itu wajar. Namun, begemana jika tujuannya lebih dari itu?. Misalnya, penyebutan “Jakarta” untuk menaikkan prestise atau katakanlah nilai jual pengkhotbah tersebut. Wah....wah....wah...darimana kemana ni? Lantas, kenapa kalau dia dari Jakarta? Dia itu lebih pinter? Atau, kadar iman orang Jakarta lebih bagus bobot bibit-nya dengan yang di luar jakarta?
Saya kira pengetahuan itu ada di semua tempat. Dan tak ada yang bisa mengklaim bahwa pengetahuan disana misalnya, lebih unggul dari pengetahuan disitu. Setiap pengetahuan itu tumbuh erat berkaitan dengan konteks dimana dia lahir. Jadi, keliru kalau memakai pengetahuan Jakarta untuk mengukur pengetahuan Makassar dan begitupun sebaliknya. Apalagi, kalau ngomongin soal iman, apa ukurannya coba? Disini, saya tak bermaksud memisahakan antara iman dan pengetahuan karena bagi saya pribadi keduanya saling melengkapi, menunjang.
Semoga saja penyebutannya bertjuan untuk informasi asal pengkhotbah tok dan tidak lebih dari itu.
Lebih lanjut dalam khotbahnya, bapak marten (sekali lagi, beribu maaf kepada orang bernama marten) menceritakan tentang bagaimana prestasi orang Kristen di luar. Disini, prestasi diukur dengan seberapa tinggi posisi jabatan seorang Kristen dalam suatu insititusi pemerintah atau swasta. Bercerita tentang beberapa orang temannya, yang dalam kamusnya adalah orang “kristen berhasil”. Dari pengalaman-pengalaman inilah, dia kemudian berbagi resep, tips, rahasia menjadi orang sukses mirip cerita-cerita dalam buku chicken soup. Dia menganjurkan kepada jemaat khususnya generasi muda agar mempunyai jiwa kompetisi berlandaskan iman percaya.
Pertanyaan yang sontak terlintas ialah, kompetisi macem ape tu yang dilandasi iman? Siapa yang kita lawan dalam kompetisi itu? saudara? teman? penganut agama lain? atau kristen yang lain?
Di dalam kompetisi terkadang ada adegan saling sikut, saling jegal antar peserta kompetisi. Lantas kemana dong kasih saat itu? Kasih yang setau saya menjadi pondasi iman Kristen, bukan begitu bukan?
Ya okie-lah kompetisi, kompetisi yang fair, mungkin itu yang dimaksud. Akan tetapi, tolong tunjukkan dimana dan model kompetisi bagaimana yang fair? Dimana semua-muanya bayar, dimana semua-muanya menanyakan nama keluarga? Dimana yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin?
Lagian, kalo direnungkan-renungkan untuk alasan apa sih berkompetisi?
Oks....oks untuk menang yang nantinya menghasilkan nama besar, kekuasaan, kekayaan. Trus, apa hubungan antara itu semua dengan iman kepada Tuhan? Ataukah bertambahnya kualitas iman berbarengan dengan naiknya jabatan dan gaji?
Trus, adakah hubungan antara kedudukan di dunia dan iman kepada tuhan? Ataukah kristen sekarang ini, memang seperti yang dimaksud oleh Max Webber?. Kristen dengan prinsip kaya di dunia, kaya di akhirat. Tanpa mau peduli kekayaannya mau diambil dari mana, yang penting kaya di dunia dan mati masuk sorga.
Atau si pak pengkhotbah ini melihat bahwa pemenang dalam kompetisi lebih pantes di hadapan Tuhan dibanding yang kalah atau tidak mau berkompetisi? Dengan kata lain tak ada tempat bagi kristen-kristen tak punya jabatan hadapan Tuhan?
Doh, sejauh yang saya tau. Praktik hidup yesus tak pernah bergelimang harta dan kekuasaan atau jabatan. Yesus malah terlihat sangat sederhana dalam kehidupannya.
Kalau saja yang dimaksud pengkhotbah ini adalah kompetisi dalam mempertebal iman. Meniru dan mempraktekkan sikap hidup yesus dalam keseharian. Eik mungkin setuju....
Semoga itu yang dimaksud bapak pengkhotbah yang jauh-jauh dari Jakarta.
29 September 2009.
Di makassar dalam cuaca yang gerah.
Tulisan ini tidak akan menceritakan tentang perbedaan pandangan dan perdebatan soal itu. Namun, masih terkait dengan perayaan minggu umat Kristen khususnya Protestan. Lebih khusus lagi, ibadah minggu gereja Toraja.
Pada suatu kesempatan ibadah minggu di sebuah gereja. Seperti biasa, ketika ibadah akan dimulai, seseorang akan muncul di depan jemaat. Memberi salam kemudian memandu pujian sebagai petanda dimulainya ibadah. Orang tersebut (laki-laki/perempuan) dikenal sebagai penatua gereja atau majelis. Orang itu juag bertugas mengumumkan tentang liturgi yang digunakan dan memperkenalkan pengkhotbah. Nah, di saat memperkenalkan pengkhotbah inilah, ibu majelis berkata....
Anggap saja kayak gini ni redaksinya; “yang akan ambil bagian dalam ibadah kali ini ialah bapak Marten dari Jakarta” (beribu maaf kepada yang bernama marten ini hanya contoh).
Yang membuat hati gundah gulana dan pikiran sekonyong-konyong heran, ialah penyebutan “Jakarta” . I'ts ok jika itu hanya sekedar informasi tentang asal pengkhotbah. Itu wajar. Namun, begemana jika tujuannya lebih dari itu?. Misalnya, penyebutan “Jakarta” untuk menaikkan prestise atau katakanlah nilai jual pengkhotbah tersebut. Wah....wah....wah...darimana kemana ni? Lantas, kenapa kalau dia dari Jakarta? Dia itu lebih pinter? Atau, kadar iman orang Jakarta lebih bagus bobot bibit-nya dengan yang di luar jakarta?
Saya kira pengetahuan itu ada di semua tempat. Dan tak ada yang bisa mengklaim bahwa pengetahuan disana misalnya, lebih unggul dari pengetahuan disitu. Setiap pengetahuan itu tumbuh erat berkaitan dengan konteks dimana dia lahir. Jadi, keliru kalau memakai pengetahuan Jakarta untuk mengukur pengetahuan Makassar dan begitupun sebaliknya. Apalagi, kalau ngomongin soal iman, apa ukurannya coba? Disini, saya tak bermaksud memisahakan antara iman dan pengetahuan karena bagi saya pribadi keduanya saling melengkapi, menunjang.
Semoga saja penyebutannya bertjuan untuk informasi asal pengkhotbah tok dan tidak lebih dari itu.
Lebih lanjut dalam khotbahnya, bapak marten (sekali lagi, beribu maaf kepada orang bernama marten) menceritakan tentang bagaimana prestasi orang Kristen di luar. Disini, prestasi diukur dengan seberapa tinggi posisi jabatan seorang Kristen dalam suatu insititusi pemerintah atau swasta. Bercerita tentang beberapa orang temannya, yang dalam kamusnya adalah orang “kristen berhasil”. Dari pengalaman-pengalaman inilah, dia kemudian berbagi resep, tips, rahasia menjadi orang sukses mirip cerita-cerita dalam buku chicken soup. Dia menganjurkan kepada jemaat khususnya generasi muda agar mempunyai jiwa kompetisi berlandaskan iman percaya.
Pertanyaan yang sontak terlintas ialah, kompetisi macem ape tu yang dilandasi iman? Siapa yang kita lawan dalam kompetisi itu? saudara? teman? penganut agama lain? atau kristen yang lain?
Di dalam kompetisi terkadang ada adegan saling sikut, saling jegal antar peserta kompetisi. Lantas kemana dong kasih saat itu? Kasih yang setau saya menjadi pondasi iman Kristen, bukan begitu bukan?
Ya okie-lah kompetisi, kompetisi yang fair, mungkin itu yang dimaksud. Akan tetapi, tolong tunjukkan dimana dan model kompetisi bagaimana yang fair? Dimana semua-muanya bayar, dimana semua-muanya menanyakan nama keluarga? Dimana yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin?
Lagian, kalo direnungkan-renungkan untuk alasan apa sih berkompetisi?
Oks....oks untuk menang yang nantinya menghasilkan nama besar, kekuasaan, kekayaan. Trus, apa hubungan antara itu semua dengan iman kepada Tuhan? Ataukah bertambahnya kualitas iman berbarengan dengan naiknya jabatan dan gaji?
Trus, adakah hubungan antara kedudukan di dunia dan iman kepada tuhan? Ataukah kristen sekarang ini, memang seperti yang dimaksud oleh Max Webber?. Kristen dengan prinsip kaya di dunia, kaya di akhirat. Tanpa mau peduli kekayaannya mau diambil dari mana, yang penting kaya di dunia dan mati masuk sorga.
Atau si pak pengkhotbah ini melihat bahwa pemenang dalam kompetisi lebih pantes di hadapan Tuhan dibanding yang kalah atau tidak mau berkompetisi? Dengan kata lain tak ada tempat bagi kristen-kristen tak punya jabatan hadapan Tuhan?
Doh, sejauh yang saya tau. Praktik hidup yesus tak pernah bergelimang harta dan kekuasaan atau jabatan. Yesus malah terlihat sangat sederhana dalam kehidupannya.
Kalau saja yang dimaksud pengkhotbah ini adalah kompetisi dalam mempertebal iman. Meniru dan mempraktekkan sikap hidup yesus dalam keseharian. Eik mungkin setuju....
Semoga itu yang dimaksud bapak pengkhotbah yang jauh-jauh dari Jakarta.
29 September 2009.
Di makassar dalam cuaca yang gerah.
Komentar