Langsung ke konten utama

Mati lampu, seksualitas dan relasi sosial

Sekarang ini mungkin hampir di semua wilayah di Indonesia terjadi pemadaman bergilir termasuk di kota Makassar. Hal ini tentunya bukan hal yang baru di negara ini bahkan bisa dibilang sudah sangat akrab. Dari tahun ke tahun ada saja alasan PLN untuk berkelit, membela diri, menumpuk pembenaran diatas pembenaran. Ha?! Entah apa lagi alasannya nanti, dan seakan tak pernah ada usaha berarti dari mereka untuk mengatasi persolan ini.

Efeknya ya, banyak perabotan yang menggunakan listrik mengalami kerusakan, aliran air dari PDAM tak lancar, telpon rumah ikut ngadat. Tidak itu saja, mati lampu juga berdampak aktifitas belajar anak sekolah dan kegiatan dalam rumah. Kalau sebelumnya jam tidur mungkin diatas jam 10 malam, kini harus berhenti pada jam 8 malam. Otomatis, tak ada lagi obrolan malam atau sekedar berkumpul dalam keluarga.

Namun, di salah sudut kota Makassar tepatnya di jalan Babussalam I para warga punya aktivitas baru ketika wilayah ini kebagian jatah mati lampu. Jika pemadaman berada di sekitaran jam 7 malam, para tetangga depan dan samping rumah, satu persatu mulai keluar dan berkumpul di depan rumah. Mulai dari bapak, ibu, sampe anak-anak pun tak ketinggalan.

Obrolan pun beragam, dari soal mengkomentari anak sampai barang perabotan rumah yang baru dibeli. Pernah dalam salah satu obrolan yang pesertanya banyak, seorang bapak sedang memutar radio dengan volume cukup besar. Ketika, siaran radio yang didengarkannya belum selesai, si bapak ini bicara dengan volume suara tak kalah besar dari speaker radio itu. Kalau saya tidak salah ingat, bapak ini mengomentari tentang si penelpon di radio tersebut. Katanya, penelpon tersebut mengeluhkan tentang ketidakharmonisan kehidupan ranjangnya dengan sang istri karena perbedaan umur yang jauh. Si bapak tadi malah menambahkan dengan menuding bahwa alat kelamin si penelpon yang memang sudah tidak "berfungsi" lagi. Spontan saja omongan tersebut disambut dengan tawa oleh bapak dan ibu yang lain.

Suatu peristiwa lagi, yang bagi saya pribadi menunjukkan bahwa yang namanya seks itu inheren dalam masyarakat kita. Dia bukan lagi hal yang tabu, setidaknya untuk tetangga-tetangga depan dan samping rumah. Seks, sensualitas telah ada di masyarakat sejak dulu. Ini terlihat jelas dari model pakaian-pakaian tradisional. Untuk perempuan, biasanya terbuka pada bagian dada atau berukuran sempit serta transparan yang tentunya bisa memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh. Sementara bagi para lelaki, terbuka pada bagian dada. Tidak hanya itu di hampir di semua daerah pun punya kitab-kitab resep persetubuhan dan praktek-praktek perawatan alat intim. Jadi mungkin, keliru kalau menganggap kalau itu berasal dari Barat dan bukan budaya kita orang Indonesia.

Diluar dari paragraf diatas, pemadaman lampu ternyata sadar tak sadar telah membuka ruang interaksi sosial antar warga yang lebih besar. Mereka kini mempunyai waktu yang lama untuk saling berbagi cerita, entah itu pengalaman atau apa. Yang jelas lewat kumpul-kumpul ini memungkinkan terciptanya suatu ikatan emosional yang lebih erat antar mereka dan bisa menumbuhkan rasa solidaritas yang semakin tinggi. Semoga.

Ada tonji paeng untungnya ini mati lampu.

Komentar

Anonim mengatakan…
Ya...malah mati lampu kalo bisa dibilang pemicu utama ledakan penduduk di indonesia...setuju gak?setuju aja ya!!!!
Victor Sosang mengatakan…
kkk...jauh amat mas mikirnya.kkk...
benietzsche mengatakan…
saya pernah menonton satu acara TV yg bilang, bahwa berhasilnya program KB di daerah krn sudah ada listrik.

Dengan listrik, orang d kampung juga dpt menikmati acara televisi. Kebiasaan tidur pada pukul 8 ato 9, juga ikut berubah, karena acara televisi biasanya sampai larut malam.

Sehingga, jadwal nge-seks si lelaki yg tadinya dilakukan selepas senja berakhir, harus tertunda di larut malam. itupun klo si istri tidak tertidur pulas.

Postingan populer dari blog ini

22 jam Obama

…Ada beberapa hal menarik menyaksikan semua gerak Obama dari layar tv dalam ku dalam kunjungan 22 jamnya di Indonesia. Ketika acara jamuan santap malam, seusai protokol acara membacakan basa-basinya, presiden Barack Obama kemudian berdiri meninggalkan kursinya dan berbisik ke SBY kemudian berjalan sendiri menyalami sebagian dari tamu undangan acara tersebut. Gelagat Obama sontak membuat SBY terlihat celingak celinguk melihat tingkah dari laki-laki keturunan Afro-America itu. “Ini khan tak ada dalam draft protokoler acara”, mungkin begitu pikir SBY. Satu hal jelas yang diperlihatkan oleh Obama bahwa seorang presiden yang punya banyak hak, tidak harus kaku dan tunduk patuh mengikuti semua prosedur protokoler. Seorang presiden bisa dengan entengya melenggang sesuai konteks kejadian dimana presiden hadir. Menyambung tulisan Yusran Darmawan (timurangin.blogspot.com) tentang bagaimana lebih tanggapnya para pembaca KOMPAS ketimbang negara dalam menyalurkan bantuan ke para pe

INI HANYA SEBUAH KATA

   Beberapa waktu yang lalu sempat riuh terdengar kebijakan Bupati Toraja Utara untuk mengeluarkan stempel halal kepada warung-warung makan yang ada di kabupaten pemekaran tersebut. Menuai protes pada awalnya akan tetapi sejauh pemantauan di dunia internet kebijakan ini tetap dilaksanakan dengan memberi stempel halal di plang warung-warung yang memang menyajikan menu yang bisa dikonsumsi siapapun.      Dan, di tahun 2019 ini, orang nomor 2 di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan tentang wisata halal yang rencananya akan dijadikan brand image untuk pariwisata tana toraja. Hal ini pun menuai protes dari berbagai kalangan di toraja, mulai dari kalangan muda, dari berbagai profesi pekerjaan, dari aparat negara sampai pada rohaniawan serta budayawan. Kata halal kemudian menjadi polemik ketika diproduksi dan dilempar ke khalayak ramai.      Sekonyong-konyong orang pastinya akan berpikir; - Ketika bupati toraja menyebutkan warung “halal” maka secara langsung orang akan menil

Dari Gelanggang ke gelanggang

Setelah lama tak dinantikan, akhirnya, untuk kesekian kali gelar “tinju bebas” pun berlangsung. Dengan promotor yang sama, pertandingan mengambil tempat di gelanggang Tanjung Priok, Jakarta . Partai ini menghadirkan aparat negara di sebelah kanan ring sebagai juara bertahan versus warga yang berada di sebelah kiri. Yang namanya pertandingan terkadang memang susah diramal, siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Para analis sudah memprediksi namun, kenyataan di lapangan biasanya bertolak belakang dengan hasil itung-itungan di atas kertas. Dan kali ini, setelah beberapa kali berhasil mendominasi menyabet titel juara, satpol PP dan polisi pun tumbang oleh perlawanan sengit warga. Hasil statistik yang dilansir oleh sebuah tv swasta menunjukkan 300 korban luka; 10 polisi, 66 satpol PP dan 54 warga (kabar terakhir 1 orang satpol PP tewas). Dari hasil ini, warga secara otomatis keluar sebagai pemenang denga menang KO mempertahankan makam dan memukul mund