Langsung ke konten utama

Tertawa part 1

Kita tak pernah dewasa, demikian penggalan lirik dari Efek Rumah Kaca yang sekaligus bisa dilihat sebagai sebuah konklusi dari band tersebut. Sebuah hasil refleksi atas maraknya video porno produksi anak bangsa.

Kira-kira 2 minggu lalu, dalam sebuah program TV yang “kerjanya” kurang lebih sama seperti mak comblang. Pada sebuah session dari acara tersebut, oleh Mc, satu pasangan diminta untuk berakting. Si perempuan pun merengek-rengek dan si laki-laki berlagak orang gagap atau cacat atau kombinasi dari keduanya. Spontan saja, acting kedua pasangan ini mendapat tepukan tangan dari penonton, terutama untuk acting si laki-laki.

Beradegan cacat, baik itu mental dan fisik memang terkadang menjadi akting dagangan paling yahud di layar Tv Indonesia. Acting ini pun tak tanggung-tanggung muncul hampir dalam semua acara Tv baik itu lawakan, film bahkan sampai dalam film. Dan, biasanya si pameran cacat tersebut mendapat apresiasi yang besar. Tengok saja sinetron “Si Cecep” dimana Anjasmara pernah mendapat piala apa untuk aktingnya. Atau tengok saja Azis, yang kebanjiran mangung serta rela menambahkan nama belakangnya sesuai dengan aktingnya.

Televisi adalah industri dan yang namanya industri sudah takdirnya untuk meraup keuntungan. Naif jika tidak berpikir seperti itu, dan jadilah televisi yang memperjualbelikan apa saja demi rating, demi iklan dan demi uang. Mulai dari produk kemiskinan, produk air mata, sampai produk manusia cacat pun tak luput. Tak peduli, bagaimana perasaan si penyandang cacat ketika menyaksikan apa yang tidak pernah dimintanya menjadi bahan tertawaan. Dan lucunya, penonton pun ikut larut dalam “dagelan” Televisi.

Hampir sama dengan dunia layar TV, dunia keseharian kita pun tak luput dari praktek konsumsi menertawai orang yang tidak beruntung tersebut. Menertawai seolah dengan fisik sempurna, kita lebih manusia. Menertawai dan lupa bahwa manusia tidak diukur dengan apa yang kita punya. Menertawai dan lupa bahwa ada yang lebih penting dari tampakan lahiriah, ada substansi diatas wilayah aksiden, ratio lebih penting ketimbang fisik. Dan, inilah manusia yang katanya modern ini. Sama dengan jawaban Muse, ketika ditanya mengenai maksud dari konsep video klip lagu Supermassive Black Hole. Kita menertawai dan menafikan fakta sejarah peradaban manusia dimana, ada zaman dimana orang dengan fisik yang tak sempurna pernah menjadi orang yang sangat berpengaruh bahkan punya sumbangsih yang besar. Lihat saja Adolf Hitler, atau Friedrich Wilhelm Nietzsche.

Kalau tertawa adalah sebuah budaya, sementara bagi para alih-alih Cultural Studies dan pakar Postmodernisme berpandangan bahwa tak ada budaya tinggi dan budaya rendah. Mungkin, akan dewasalah kita jika, mengatakan bahwa menertawai segala kecacatan fisik seseorang adalah sebuah budaya rendah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 jam Obama

…Ada beberapa hal menarik menyaksikan semua gerak Obama dari layar tv dalam ku dalam kunjungan 22 jamnya di Indonesia. Ketika acara jamuan santap malam, seusai protokol acara membacakan basa-basinya, presiden Barack Obama kemudian berdiri meninggalkan kursinya dan berbisik ke SBY kemudian berjalan sendiri menyalami sebagian dari tamu undangan acara tersebut. Gelagat Obama sontak membuat SBY terlihat celingak celinguk melihat tingkah dari laki-laki keturunan Afro-America itu. “Ini khan tak ada dalam draft protokoler acara”, mungkin begitu pikir SBY. Satu hal jelas yang diperlihatkan oleh Obama bahwa seorang presiden yang punya banyak hak, tidak harus kaku dan tunduk patuh mengikuti semua prosedur protokoler. Seorang presiden bisa dengan entengya melenggang sesuai konteks kejadian dimana presiden hadir. Menyambung tulisan Yusran Darmawan (timurangin.blogspot.com) tentang bagaimana lebih tanggapnya para pembaca KOMPAS ketimbang negara dalam menyalurkan bantuan ke para pe

INI HANYA SEBUAH KATA

   Beberapa waktu yang lalu sempat riuh terdengar kebijakan Bupati Toraja Utara untuk mengeluarkan stempel halal kepada warung-warung makan yang ada di kabupaten pemekaran tersebut. Menuai protes pada awalnya akan tetapi sejauh pemantauan di dunia internet kebijakan ini tetap dilaksanakan dengan memberi stempel halal di plang warung-warung yang memang menyajikan menu yang bisa dikonsumsi siapapun.      Dan, di tahun 2019 ini, orang nomor 2 di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan tentang wisata halal yang rencananya akan dijadikan brand image untuk pariwisata tana toraja. Hal ini pun menuai protes dari berbagai kalangan di toraja, mulai dari kalangan muda, dari berbagai profesi pekerjaan, dari aparat negara sampai pada rohaniawan serta budayawan. Kata halal kemudian menjadi polemik ketika diproduksi dan dilempar ke khalayak ramai.      Sekonyong-konyong orang pastinya akan berpikir; - Ketika bupati toraja menyebutkan warung “halal” maka secara langsung orang akan menil

Dari Gelanggang ke gelanggang

Setelah lama tak dinantikan, akhirnya, untuk kesekian kali gelar “tinju bebas” pun berlangsung. Dengan promotor yang sama, pertandingan mengambil tempat di gelanggang Tanjung Priok, Jakarta . Partai ini menghadirkan aparat negara di sebelah kanan ring sebagai juara bertahan versus warga yang berada di sebelah kiri. Yang namanya pertandingan terkadang memang susah diramal, siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Para analis sudah memprediksi namun, kenyataan di lapangan biasanya bertolak belakang dengan hasil itung-itungan di atas kertas. Dan kali ini, setelah beberapa kali berhasil mendominasi menyabet titel juara, satpol PP dan polisi pun tumbang oleh perlawanan sengit warga. Hasil statistik yang dilansir oleh sebuah tv swasta menunjukkan 300 korban luka; 10 polisi, 66 satpol PP dan 54 warga (kabar terakhir 1 orang satpol PP tewas). Dari hasil ini, warga secara otomatis keluar sebagai pemenang denga menang KO mempertahankan makam dan memukul mund