Siapa yang tak suka hiburan?atau, siapa yang suka program komedi Tv? konon, tertawa memang perlu menurut kesehatan. Dan tertawa sebaiknya yang ikhlas (dari dalam hati) agar berguna secara kejiwaan. Seorang teman pernah berhipotesa, tertawa yang baik ialah ketika tarikan kedua ujung bibir diukur dari tengah sama besarnya kiri dan kanan. Hal yang sama juga berlaku buat senyum, tambahnya.
Mungkin tak ada dari kita yang tidak mengenal komedi televisi, yang sampai hari ini hadir dengan berbagai kemasan dan jumlah kian banyak. Masih teringat jelas dalam kepala kita akan aksi dari group; warkop DKI, Bagito, Srimulat, dan lain-lain. Grup-grup ini timbul tenggelam, datang dan pergi, naik dan turun layaknya teori evolusi Darwin. Ada yang tersingkir karena usia, dan ada juga karena karakter lawakannya tidak laku. Komedi sendiri merupakan salah satu program “lahan basah” dalam industri pertelevisian. Jangan heran, jika hampir semua televise punya program lawakan.
Satu hal yang menjadi kemiripan dari dunia lawak indonesia dulu sampai sekarang ialah masalah content lawakannya. Yang biasanya diisi adegan mengerjai, hina menghina, sampai yang nyrempet ke arah birahi.
Salah satu program lawak yang kini lagi laku-lakunya ialah Opera Van Java. Dari yang awalnya tayangan perminggu sampai kini perhari, menunjukkan bahwa peminat acara ini tinggi. Sejarah adalah perulangan-perulangan kata …? (yang tahu, tolong isi). Dan, jadilah OVJ yang terkadang menjual makian, hinaan atau kekerasan. Faktanya, hampir semua orang pun tertawa jika menyaksikan tayangan tersebut. Beberapa orang malah, mengingat pasti jam penayangannya. Seorang teman pernah menegur teman lainnya lantaran di saat memindahkan channel dia melewati Opera Van Java.
Dalam analisa sigmund Freud yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal ialah karena kita
memetik kepuasaan yang sifatnya instingtif dari aksi kekerasan, makian, hinaan yang dipertonkannya. Menurutnya, id yang sifatnya selalu destuktif akan selalu direpresif oleh yang namanya superego. Maka, dengan adanya lawakan yang terjadi kemudian adalah perkara menyelinap mengelabui superego. Atau, dengan kata lain bahwa ini adalah soal menghindari sensor superego.
Lagi-lagi, menurut Freud tiap manusia punya naluri untuk melakukan tindakan kekerasan, mencaci maki atau menghina. Namun, karena ada seperangkat sistem sosial diluar diri manusia maka hal seperti itu pun ditekan. Jadi, ketika hal itu dipertontonkan dan kita tertawa. Maka tawa tersebut adalah sublimasi dari sifat instingtif yang pada dasarnya destruktif.
Komentar
ka vic, akhirnya blog ini berdetak lagi...
anyway...whooiii...dvd filmku...balikin...